Jakarta, CNN Indonesia -- Kenangan dari perjalanan Aconcagua masih membekas dalam pikiran anggota tim mahasiswi pecinta alam dari Bandung. Badai salju yang lebih hebat dibanding tiga perjalanan pertama menuju tujuh puncak dunia menjadi salah satu cerita yang paling diingat.
Pada Januari silam akhirnya tim mahasiswi pecinta alam yang berasal dari Universitas Parahayangan, Bandung itu bisa menuntaskan puncak keempat dari tujuh puncak dunia. Tim yang bernama The Women of Indonesia's Seven Summits Expedition (WISSEMU) itu terdiri atas Fransiska Dimitri (22), Mathilda Dwi Lestari (22), dan Dian Indah Carolina (20).
Ketiganya terbang ke Argentina pada 11 Januari silam untuk menjalani misi keempat dari Seven Summits, yaitu Puncak Aconcagua (6962 meter di atas permukaan laut/mdpl). Aconcagua sendiri adalah puncak tertinggi kedua di dunia sebelum Everest di Nepal (8.848 mpdl).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya mereka telah mencapai tiga puncak yakni Cartensz di Papua (4884 mdpl), Elbrus di Rusia (5642 mdpl), dan Kilimanjaro di Tanzania (5985 mdpl).
"Setiap gunung yang kita daki, urutannya itu merupakan suatu rangkaian latihan untuk gunung-gunung berikutnya. Dan tingkat kesulitan yang paling tinggi kita tempatkan di paling belakang, karena kita sudah melewati beberapa gunung untuk latihan," tukas Fransiska kepada
CNN Indonesia.com, Jumat (4/3).
"Untuk Aconcagua ini kita sudah mulai persiapan dari bulan Agustus 2015. Kita sudah mulai latihan fisik, mencari perlengkapan yang dibutuhkan, sponsor,
knowledge dipertambah, cari tantangan terbesarnya dan cara mengatasinya, serta cari tahu gejala penyakit-penyakit di ketinggian apa saja."
Perjalanan mereka dimulai di ibukota Argentina, Buenos Aires. Dari sana ketiganya kemudian melanjutkan perjalanan menuju Mendoza untuk menginap dan mempersiapkan logistik serta izin ke puncak Aconcagua.
Los Penitentes menjadi perhentian selanjutnya, tempat terakhir sebelum mereka mulai melakukan perjalanan dengan berjalan kaki (
tracking). Ketiganya menginap sehari di sana dan membagi logistik hingga ke enam duffel yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Mereka tentu saja tak membawa enam duffel itu sendiri. Ada Mule--hewan perkawinan keledai dan kuda--yang dipandu masyarakat lokal untuk membawa beban-beban tersebut. Tujuan pertama adalah base camp Plaza de Mulas.
"Ada satu camp sebelum ke
basecamp, namanya Confluensia di ketinggian 3,400 meter. Hari pertama tracking kita beristirahat di Confluensia. Kemudian keesokan harinya kita masih beristirahat di Confluensia, tapi kita melakukan aklimatisasi dahulu," kata Fransiska yang akrab disapa Didi tersebut.
Ketika tiba di Plaza de Mulas, tim WISSEMU pun harus menetap selama enam hari di sana hingga cuaca cukup baik untuk melakukan
summit attack atau menuju puncak.
Awalnya, kata Mathilda, mereka berencana menuju puncak pada 27 Januari. Namun, faktor cuaca membuat mereka bergerak pada akhir Januari 2016. Dini hari pada 30 Januari, mereka melakukan perjalanan untuk ke puncak.
 Mule, hewan percampuran kuda dan keledai yang digunakan untuik membawa beban tim pendaki putri Mahitala Universitas Parahyangan di Gunung Aconcagua, Argentina. (Dok. Mahitala Unpar) |
Kebesaran HatiSaat berangkat, baik Fransiska, Mathilda, dan Dian dalam kondisi fit. Namun, di tengah perjalan ke puncak, langkah Dian--yang akrab dengan sapaan Caro (baca: Karo), mengalami penurunan kondisi. Langkahnya mulai melambat.
“Akhirnya ya sudah, Caro turun dan istirahat, kami lanjut ke atas. Kita sampai di puncak itu jam 5.45 sore waktu Argentina," ujar Fransiska saat menceritakan kebesaran hati Caro untuk tak lanjut ke puncak Aconcagua.
Fransiska dan Mathilda berhasil mencapai puncak keempat tanpa ditemani Caro. Tinggal tiga gunung lagi yang akan dicapai Tim Wissemu untuk menuntaskan misi sebagai tim perempuan Indonesia yang berhasil menyelesaikan Seven Summits: Vinson Massif (4897 mdpl), Denali (6194 mdpl), dan Everest.
Apabila mereka berhasil menuntaskannya, Didi berharap misinya itu dapat membuktikan bahwa pendaki Indonesia --khususnya pendaki perempuan -- juga tidak kalah tangguh dari pendaki dunia lainnya.
"Bahwa batasan-batasan yang sebelumnya ada itu sebenarnya bisa kita hancurkan asalkan kita mau melakukan prosesnya pelan-pelan. Walau pelan-pelan, tapi kita bakal sampai ke tujuan di depan nanti," ujar Ketua Tim Wissemu tersebut.
(kid)