Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Kaki-kaki kecil saya berlari menyeruak keramaian di koridor sekolah, terburu-buru pulang karena ingin menyaksikan laga di Piala Dunia 2002. Layaknya anak-anak sekolah dasar lainnya, saya ikut larut dalam keriuhan pesta bola dunia.
Yes! Saya masih bisa menyaksikan aksi Michael Owen menembus barikade pertahanan Brasil dan membuka keunggulan Inggris. Walaupun Rivaldo sempat menyamakan kedudukan, kala itu saya optimistis The Three Lions menang.
Semuanya masih terasa baik-baik saja, sebelum petaka datang dari kaki Ronaldinho. Ini bermula dari pelangaran Paul Scholes pada Kleberson di sepertiga wilayah pertahanan Inggris, hanya beberapa menit setelah turun minum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut saya, itu bukanlah zona yang pas untuk melepaskan tembakan langsung ke gawang. Saya pun yakin bek-bek Inggris seperti Sol Campbell atau Rio Ferdinand mampu membuang bola.
Namun ternyata Ronaldinho menguji langsung David Seaman dengan tendangan bebas dan membuat sang kiper terlihat seperti pemain dari kasta kedua liga Inggris.
Boom! Brasil berbalik unggul 2-1. Skor ini kemudian bertahan hingga akhir. Inggris pun harus angkat koper dari Korea dan Jepang. David Beckham menangis. Begitu pula saya. Sedih sekali rasanya ketika saya mulai menyukai sepak bola, tim favorit saya justru harus pulang lebih awal.
Cinta Inggris, Cinta yang Bertepuk Sebelah TanganTimnas Inggris memang menjadi 'cinta pertama' saya dalam dunia sepak bola. Bukan timnas Indonesia ataupun Liverpool, klub yang akhinya saya dukung hingga saat ini.
Di mata saya The Three Lions menyajikan sesuatu yang elegan dalam sebuah pertandingan.
Mereka dikategorikan sebagai salah satu negara raksasa di lapangan hijau, selalu digadang-gadang jadi favorit juara, tapi justru tak pernah lagi mengangkat trofi internasional sejak 1966. The Union Jack lebih hebat menciptakan harapan palsu bagi para pendukungnya.
Butuh kesiapan mental untuk mendukung tim seperti ini. Di setiap perhelatan Piala Dunia, selalu muncul nama-nama baru dari skuat The Three Lions yang seolah mampu menjadi juru selamat. Namun, ujung-ujungnya itu semua hanyalah sebuah pepesan kosong belaka.
 Michael Owen menjadi salah satu pemain muda Inggris yang diharapkan pada awal 2000-an. (AFP PHOTO / PATRICK KOVARIK) |
Di Piala Dunia 2002, bek muda Rio Ferdinand sempat dianggap menjadi keajaiban lainnya setelah sang penyerang mungil Michael Owen.
Sementara Piala Dunia 2006, giliran bocah dari kota pelabuhan Liverpool, Wayne Rooney, yang jadi sorotan media. Namun asa pada Rooney ini justru berbalas kartu merah saat melawan Portugal di perempat final. Karier Wazza di level internasional pun bisa disebut berakhir lebih cepat. Rooney tak pernah benar-benar bersinar lagi untuk negaranya di ajang ini.
 Belum ada pengganti sosok Alan Shearer di timnas Inggris. (AFP PHOTO/ADRIAN DENNIS) |
Untuk edisi Afrika Selatan 2010, bukan para pemain yang menjadi harapan. Tapi justru kehadiran allenatore asal Italia, Fabio Capello yang menjadikan Inggris sempat layak diperhitungkan. Sayang, Capello ternyata bukan pawang singa yang tepat. Tanyakan saja kepada David James bagaimana ia harus memungut bola empat kali dari gawangnya di hadapan para pemain Jerman.
Piala Dunia 2014 jadi yang terburuk buat saya. Bersama pelatih Roy Hodgson, sejumlah talenta muda ikut berangkat ke Brasil. Nama-nama seperti Raheem Sterling, Ross Barkley, hingga Danny Welbeck seperti menjadi kombinasi yang pas untuk para veteran macam Steven Gerrard dan Frank Lampard.
Lalu?
Ah, jangankan membalaskan dendam kepada Jerman. Meraih satu kemenangan di fase grup pun mereka tak mampu.
 Timnas Inggris akan berharap pada ketajaman Harry Kane dan racikan Gareth Southgate di Piala Dunia 2018. (Reuters / Lee Smith) |
Perjudian Gareth Southgate dan Tuah Harry KaneSejauh ini, Gareth Southgate adalah pelatih timnas Inggris yang paling saya sukai di era sepak bola modern. Selain karena usianya yang masih muda, satu hal yang membuat saya benar-benar tertarik padanya adalah daftar pemain yang ia bawa ke Rusia.
Southgate berani meninggalkan nama-nama yang sebelumnya sudah pernah mengenakan seragam The Union Jack, seperti penjaga gawang Joe Hart, bek sayap Leighton Baines, gelandang Jack Wilshere, hingga sang top skor timnas Wayne Rooney.
Daripada mengedepankan jam terbang, Southgate lebih melihat pemain-pemain yang memang bernilai guna bagi skuat The Three Lions. Nama besar bukan jaminan bagi para pemain untuk dipilih pelatih yang pernah gagal mengeksekusi penalti pada semifinal Piala Eropa 1996 ini.
Southgate pun berjudi dengan berani. Ia menyertakan pemain muda seperti Trent Alexander Arnold dan Ruben Loftus Cheek yang memang terhitung bukan siapa-siapa di level internasional.
Satu nama metereng yang bisa jadi tulang punggung pada edisi piala dunia kali ini adalah Harry Kane.
The not-one-season-wonder harus mampu membuktikan kapabilitasnya bukan sebatas di level klub. Ini tentu bukan tantangan yang mudah mengingat penyerang Inggris terakhir yang mampu bicara banyak di kompetisi internasional adalah Alan Shearer. Nama-nama besar setelahnya hanya bisa menjadi hiasan poster promosi timnas sebelum kompetisi berlangsung.
 Di Piala Dunia 2018, timnas Inggris akan mengandalkan para pemain muda.(Reuters/Jason Cairnduff) |
Jika Jordan Pickford mampu tampil tenang di bawah mistar, Gary Cahill bisa menjadi komandan di lini belakang. Dele Alli setidaknya mampu menyamai level permainan Andres Iniesta selama berada di Rusia, dan Harry Kane mampu menjelma menjadi Gary Lineker selanjutnya, bukan tak mungkin timnas Inggris mampu membalas ribuan surat cinta para penggemarnya dengan kata-kata paling romantis.
Jika pada akhirnya harus realistis, saya memprediksi timnas Inggris setidaknya akan bisa mencapai babak perempat final. Komposisi pemain yang didominasi oleh anak muda ini menurut saya bakal mampu bermain tanpa beban di penyisihan grup, dan setidaknya lolos sebagai
runner up di bawah Belgia. Semangat mereka juga saya yakini masih akan terus terbakar di babak 16 besar.
Namun ujian sesungguhnya ada di babak perempat final. Fase ini mungkin terasa seperti candu bagi para pendukung Inggris seperti saya. Ada rasa bahagia karena tim yang didukung bisa melaju hingga ke batas itu, tapi jika kalah, apalagi kalau dengan cara yang memalukan, rasa sakitnya seperti menjalar ke seluruh tubuh.
Belum lagi munculnya olok-olokan dari para suporter tim sebelah. Padahal, secara tidak langsung, keikutsertaan timnas Inggris di Piala Dunia telah mempersatukan pemuja-pemuja klub Liga Primer yang sudah saling gontok-gontokan selama satu musim penuh.
Cinta pertama memang tak selamanya manis. Tapi terkadang justru kegetiran dan ketidakpuasan itu yang membuatnya sangat berkesan.
Ayo dong Inggris, cinta 'kan enggak bisa menunggu. (vws)