Mantan bek sayap Timnas Indonesia di era 1990-an, Supriyono menyebut keberadaan pemain keturunan merupakan efek dari pembinaan usia muda di Indonesia yang tidak beres.
Supriyono mengatakan di eranya, materi pemain yang mengisi skuat di Timnas Indonesia berasal dari Pendidikan Kilat (Diklat) Piala Soeratin maupun PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar) bentukan pemerintah. Berbagai program pembinaan usia muda itu disebut Supriyono kini sudah hilang digantikan dengan kompetisi Elite Pro Academy (EPA) bentukan PSSI.
"Hanya saja perekrutan pemain di Elite Pro tidak jelas. Yang saya pahami, pembinaan itu ujungnya di kompetisi. Tapi kan tidak begitu juga, mereka harus punya program tersendiri, tidak asal comot dari anak-anak di SSB [Sekolah Sepak Bola]."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau di Diklat, setiap minggu latihan dari pagi sampai sore, durasinya panjang minimal 2-3 tahun. Perekrutan di SSB ini enggak gentle karena mendekati lewat orang tuanya," kata Supriyono kepada CNNIndonesia.com.
Tak hanya itu, lanjut Supriyono, Shin Tae Yong sebagai pelatih Timnas Indonesia dituntut untuk mencapai target tinggi dari pemerintah. Kondisi itu membuat Shin Tae Yong diminta untuk mencari pemain-pemain keturunan yang berpengalaman demi memenuhi target tersebut.
![]() |
"Pembinaan usia muda yang tidak beres ini yang menjadi efek penyebab masuknya pemain keturunan di skuad Timans Indonesia. Momentum Piala Dunia ini harusnya bisa membuat PSSI berkaca, seperti apa mereka selama ini menjalankan pembinaan pemain di Indonesia," sebut Supriyono.
Soal layak tidaknya pemain keturunan masuk ke dalam Timnas Indonesia, Supriyono menyebut disesuaikan dengan kebutuhan pelatih dalam membentuk tim. Pelatih, dalam hal ini Shin Tae Yong, memiliki kapasitas memilih pemain untuk bisa menjalankan taktik.
Termasuk pemilihan berdasarkan karakteristik yang dibuat sesuai kebutuhan tim. Mulai postur tubuh sampai latar belakang kompetisi di luar untuk mendapatkan pengalaman bertanding yang lebih luas karena kematangan pemain dilihat dari kompetisi.
"Sebanyak 28 pemain yang dibawa ke Kroasia ini juga belum final. Siapa tahu di Kroasia jadi ujian dan tes buat mereka. Shin Tae Yong butuh mereka, tapi kalau mereka tidak perform, tidak sesuai harapan akan terkena degradasi juga. Sehingga masih ada peluang memberikan kesempatan potensi lokal yang belum mendapatkan kesempatan," jelasnya.
Apalagi selama dipegang Shin Tae Yong, masyarakat juga belum melihat permainan Timnas Indonesia. Kekalahan melawan Persita Tangerang 1-4 pada laga uji coba awal belum bisa dijadikan tolok ukur.
"Tapi yang saya perhatikan ada satu yang diinginkan Shin Tae Yong di Timnas sesuai dengan budaya Korea Selatan, yaitu dia ingin melihat etos kerja pemain di lapangan. Mungkin pemain yang terpilih sementara ini etos kerjanya sesuai dengan yang diinginkan Shin Tae Yong," sebut Supriyono.
Pemain Keturunan di Timnas Hal Wajar
Sementara itu, pengamat sepak bola nasional, M. Kusnaeni keberadaan pemain keturunan yang dipanggil untuk membela Timnas Indonesia adaah hal yang wajar untuk dipenuhi. Meskipun, keputusan untuk menentukan layak tidaknya seorang pemain keturunan gabung dengan Skuat Garuda adalah hak seorang pelatih.
Kusnaeni justru mempertanyakan kebenaran lima pemain Brasil yang akan dinaturaisasi untuk kepentingan Timnas. Sebab, kelimanya tidak memiliki garis keturunan Indonesia serta tidak tinggal selama lima tahun penuh di Indonesia dan tidak diketahui kualitasnya.
"Tapi kalau Elkan Baggott, Jack Brown kan garis keturunannya ketahuan. Pelatih mengamati dan menilai mereka. Mudah-mudahan apa yang diamati tidak keliru," terangnya.
![]() |
Masing-masing pelatih memiliki pertimbangan dan penilaian teknis berbeda dalam pemilihan pemain. Semua kembali kepada selera dan kebutuhan tim yang akan dibangun si pelatih.
Contoh kasus Jack Brown yang beberapa kali dicoret setelah mengikuti TC bersama Fakhri Husaini maupun Indra Sjafri ketika melatih Timnas Indonesia. Atau pencoretan terhadap beberapa nama pemain yang sebelumnya menjadi langganan Timnas Indonesia U-19 di tangan Fakhri Husaini seperti Fajar Faturachman, Afeandra Dewangga, Fadilah Nur Rahman, Rendy Juliansyah, Sutan Zico, Hamsa Lestaluhu serta Kartika Vedhayanto.
"Faktor selera dan kebutuhan pelatih berperan. Shin Tae Yong melihat lawan-lawan di Piala Dunia punya postur tubuh Eropa. Jadi dia punya kecenderungan menempatkan faktor fisik sebagai pertimbangan dan memilih pemain yang postur fisiknya tinggi dan padat," ucap Kusnaeni.
(ttf/bac)