Saat itu saya tak menyangka bisa masuk final, dalam pikiran saya pokoknya saya ingin menang. Sebagai pemain muda, menghadapi senior saya yaitu Eddy Kurniawan yang sering latihan bersama, saya hanya berusaha tampil sebaik mungkin dan ingin menang.
Setelah menang di tahun 1990, saya ternyata bisa kembali menang di Indonesia Open pada 1991 dan 1992 sekaligus menyamai rekor Icuk Sugiarto. Saya tidak tahu hal itu. Dalam pikiran saya, begitu turun di pertandingan, saya harus berusaha semaksimal mungkin, baik itu di Indonesia Open, atau di pertandingan lainnya.
Pada Indonesia Open 1993 saya kalah dari Alan Budikusuma di babak semifinal. Setelah Olimpiade 1992 saya memang agak menurun.
Usai kalah di situ saya berusaha latihan lebih keras. Porsi latihan saya tambah. Saya berusaha agar persiapan saya lebih baik.
Saya bisa kembali jadi juara Indonesia Open di 1994 dan 1995. Lalu setelah juara Indonesia Open 1997, saya tak lagi ikut edisi 1998. Saya sudah pindah ke Amerika Serikat.
Di final Indonesia Open saya memang lebih sering bertemu Joko Supriyanto. Namun siapapun lawannya, sebenarnya saya tidak terlalu ambil pusing. Saya hanya berusaha mengeluarkan seluruh kemampuan saya untuk meraih kemenangan.
Di tahun 90-an Indonesia Open itu pindah-pindah kota. Namun satu yang pasti, penonton Indonesia Open pasti ramai. Atmosfernya hebat dan suasananya heboh sekali.
Di dalam arena, dulu semua masih boleh, termasuk merokok. Hal itu masih ditambah tidak ada AC. Walaupun ada AC, pasti tidak akan terasa.
Karena itu kondisi panas adalah hal yang mutlak dipersiapkan oleh pemain. Pemain yang tampil di Indonesia Open harus siap panas, harus kuat. Karena di dalam arena panas, dan ada yang merokok juga. Setengah mati juga sebenarnya, hahaha...
Kalau bertemu sesama pemain Indonesia, tentu penonton bakal terbagi dua. Ada yang mendukung saya, ada yang mendukung lawan.
Menurut saya Indonesia Open adalah turnamen yang penting karena turnamen ini digelar di Indonesia, dan sebagai pebulutangkis saya mau coba memberikan yang terbaik.
Saya lahir di Jakarta tahun 1970. Awal main badminton karena ikut kakak-kakak saya. Pertama hanya ikut-ikutan main, lalu ternyata saya senang main badminton dan akhirnya jadi terus ikut main.
Kakak saya sebenarnya masuk kategori lumayan untuk ukuran pemain. Namun mereka semua setelah SMA memutuskan melanjutkan pendidikan.
Sedangkan saya di usia 15 bisa masuk pelatnas setelah masuk semifinal Kejuaraan Nasional Usia 18 tahun. Saya kalah dari Hermawan Susanto saat itu.
Saya itu saya masuk pelatnas bersama Hermawan, Alan Budikusuma, dan Fung Permadi. Waktu itu nomor tunggal putra Indonesia sedang menurun. Jadi PBSI berusaha agar pemain-pemain muda terus dikirim.
Di tahun-tahun awal posisi saya paling bawah. Saya tidak pernah menang lawan Alan dan Hermawan. Di turnamen saya sering kalah di babak pertama dan kedua. Sedangkan yang lain sudah mulai bisa menembus semifinal.
Selama dua tahun awal itu saya setengah mati. Saya kalah terus dan cukup frustrasi juga.
Sempat ada pikiran mau berhenti. Soalnya yang lain sudah bisa semifinal, delapan besar, sedangkan saya paling banter babak kedua dan ketiga.
Tetapi karena ada dukungan dari keluarga. Papi, mami, kakak saya. Mereka semua membantu saya mengatasi situasi sulit.
Papi saya bilang: "Kalau kamu di pelatnas latihan sama terus, kapan mau melewati yang lain."
 Ardy masih melatih namun tidak lagi berpergian dalam jarak jauh dan untuk waktu yang lama. (Arsip Pribadi) |
Sejak saat itu saya mulai tambah porsi latihan. Selepas latihan di pelatnas, saya tambah porsi latihan. Bersama Pak Hadi Nasri, pelatih yang menangani saya sejak kecil.
Lalu di 1987 ada Kejuaraan Dunia Junior. Saya bisa menang dan kepercayaan diri mulai muncul. Sebelumnya, karena kalah terus jadi kepercayaan diri tetu tidak ada.
Berangkat dari situ, tahun 1988 saya mulai bisa masuk semifinal. Lalu akhirnya bisa menang di China Open. Setelah itu karier saya mulai meningkat dan kemenangan di All England tahun 1991 adalah salah satu yang paling berkesan.
Sebelum All England, ada turnamen di Swedia yang biasa dijadikan ajang pemanasan sebelum All England. Setelah dari Swedia ternyata saya menderita flu berat. Batuk, pilek, dan panas.
Batuk yang paling mengganggu saya. Saya sampai dipisahkan dengan pemain lain agar pemain lain tidak tertular.
Saya diberi antibiotik oleh dokter pertandingan dan berusaha untuk bermain meski rasanya setengah mati. Di babak-babak awal terasa sangat berat.
Karena dulu All England menggunakan bagan 64 besar sehingga di hari awal seorang pemain harus bertanding dua kali. Semakin babak berlalu sakitnya mereda dan saya bisa menjadi juara meskipun rasanya tegang luar biasa.
Setahun kemudian, dalam persiapan berangkat Olimpiade, tentu ada perasaan tegang karena memang saya jadi pemain yang diharapkan meraih medali emas.
Namun saya berusaha untuk menetralkan suasana. Saya menganggap Olimpiade penting tetapi saya berusaha menganggapnya seperti pertandingan lain. Saya tak mau berpikir terlalu jauh, hanya berpikir babak demi babak.
Ketika sampai di perempat final, ternyata saya berjumpa Poul Erik Hoyer Larsen. Dari rekor pertemuan, saya lebih sering kalah. Saya tak mau pikirkan soal itu dan akhirnya bisa menjejakkan kaki di semifinal.
Di semifinal ada tiga pemain Indonesia yang masih bertahan, yaitu saya, Hermawan, dan Alan. Saya berjumpa Hermawan dan pelatih tidak oong apa-apa. Kita hanya disuruh main sebagus mungkin.
Ketika final saya dipastikan bertemu Alan, tim pelatih sudah meluapkan kegembiraan karena emas dan perak sudah di tangan.
Sebelum final tidak ada yang berbeda antara saya dan Alan. Situasi semua biasa saja karena kita di luar lapangan teman, dan di dalam lapangan kita bertarung habis-habisan.
Final Olimpiade berlangsung dan saya kalah. Rasanya sakit. Lumayan sakit. Efeknya cukup lama saya rasakan karena setiap pemain ingin menang, apalagi saya kalah di pertandingan penting.
Semuanya terasa tidak enak. Tidur enggak enak, latihan. Sulit diungkapkan. Saya benar-benar kecewa.
Saya bukan tidak menerima kekalahan di final Olimpiade, cuma saya kecewa. Saya pun bukan kecewa pada Alan yang mengalahkan saya, melainkan kecewa pada diri saya. Alan memang pantas jadi juara karena dia main bagus di final itu.
Saya akhirnya bisa bangkit dan berpikir kalau saya begitu terus, saya bakal terus jatuh. Jadi saya harus menerima.
Saya senang bisa bangkit dan meraih berbagai prestasi berikutnya, termasuk membantu Indonesia memenangkan Thomas Cup. Kekuatan Indonesia saat itu memang hebat karena diisi pemain-pemain yang bagus.
Tetapi bukan berarti jadi gampang, karena dalam kejuaraan beregu ada banyak faktor. Ketegangan tentu akan terasa karena sebagai pemain bakal berusaha meraih yang terbaik. Indonesia saat itu tim yang kuat di Thomas Cup namun tak berarti kami jadi lengah dan meremehkan tim lain.
Bila saya bisa bilang di beregu Indonesia adalah tim yang kuat, beda lagi misalnya berbicara di nomor perorangan.
Bagi saya persaingan di perorangan pada era 90-an itu jadi lebih berat karena saingan-saingan terberat bukan dari negara lain tetapi teman-teman sendiri.
Kita latihan sama-sama, tinggal bareng, ngapa-ngapain bareng. Jadi memang sudah paham satu sama lain, termasuk kebiasaannya di lapangan. Beda halnya bila bertemu pebulutangkis negara lain.
Kata orang-orang, saya adalah tipe pemain yang reli. Kunci sukses untuk berhasil dalam hal itu adalah karena saya tahu kemampuan fisik saya.
 Alan Budikusuma adalah lawan yang mengalahkan Ardy B. Wiranata di final Olimpiade 1992. (ALBERTO MARTIN / AFP) |
Saya punya defense yang bagus dan saya bukan hanya sekadar defense, melainkan berusaha membuat lawan juga lelah dan terkuras energinya. Kalau diperlukan, saya juga bisa melakukan pola permainan menyerang.
Saat ini saya melatih di Kanada. Bukan berarti saya tak mau tantangan. Menurut saya, saat ini adalah momen untuk lebih mementingkan keluarga setelah sebelumnya saya banyak bepergian selama jadi pemain dan juga ketika melatih di Amerika Serikat.
Saya memutuskan untuk tidak terlalu banyak bepergian sehingga punya banyak waktu untuk keluarga. Di Kanada saya masih bepergian untuk keperluan melatih, tetapi itu hanya Jumat-Minggu sehingga masih banyak waktu untuk keluarga.
Bicara soal pencapaian saya di bulutangkis, bila pertanyaan itu diajukan saat ini tentu saya akan menjawab bahwa saya bangga dengan pencapaian itu. Tetapi bila pertanyaan itu diajukan saat saya masih jadi pemain, terus terang saya masih merasa ada yang kurang.
Setiap pemain tentu punya perasaan ingin menang. Tetapi bila berkaca pada kondisi saat ini, saya rasa pencapaian yang saya dapat sudah bagus.
Keberhasilan saya di dunia badminton tak lepas dari berkat Tuhan juga dukungan dari keluarga. Papi, mami, istri, kakak-kakak, kakak ipar. Juga berkat polesan pelatih-pelatih yang berjasa mulai dari Pak Hadi Nasri, Om Tong Sin Fu hingga Koh Indra Gunawan serta rekan-rekan yang selama ini jadi sparring partner.
Pesan saya bagi pebulutangkis di era ini, untuk bisa menjadi pemain yang bagus dan berhasil, harus punya komitmen 100 persen. Harus berani capek dengan segala latihan tambahan. Karena hanya dengan latihan dan persiapan yang bagus hal itu yang bisa menambah kepercayaan diri di lapangan.
[Gambas:Video CNN]