Jakarta, CNN Indonesia --
Saya lahir dan besar dari keluarga yang mencintai sepak bola. Ayah saya merupakan pemain dari PS Angkasa, kesebelasan yang dibela sesuai dengan panggilan tugasnya sebagai anggota TNI Angkatan Udara.
Darah sepak bola itu mengalir ke semua anak-anaknya. Kami delapan bersaudara dan lima di antaranya laki-laki. Kelima-limanya menyukai sepak bola.
Dari lima anak laki-laki ini ada dua orang yang menekuni sepak bola. Seorang abang saya yang sempat bermain di sebuah klub yang tampil di pentas Galatama dan tentunya saya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya pribadi begitu termotivasi untuk bisa menjadi pemain sepak bola karena sering mendengar cerita ayah ketika masih kanak-kanak. Beliau kerap bercerita pengalaman hadir dalam pertandingan ekshibisi untuk peresmian Stadion Utama Senayan tahun 1962.
Ayah saya juga merupakan pelatih PS Angkasa di Riau, tempat saya dibesarkan. Dari PS Angkasa pula saya mulai mengenal dan menyenangi permainan mengolah si kulit bundar di lapangan.
Saat menginjak bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama, saya terpilih mewakili tim POPSI Riau. Waktu itu saya belum jadi seorang pemain belakang. Semasa sekolah saya adalah seorang striker. Soal catatan golnya waktu ya lumayanlah ya he..he..he
Penampilan saya di POPSI ketika itu membuka pintu ke Diklat Medan. Saya yang masih berusia 13 tahun kemudian meninggalkan Riau dan pindah ke Medan untuk tinggal di asrama.
Begitu masuk kelas satu Sekolah Menengah Atas, posisi bermain saya diubah oleh pelatih Nobon Kayamudin. Karena ada beberapa pemain yang ditarik ke Diklat Ragunan, posisi saya dari semula striker diubah jadi bek tengah.
Alasannya sederhana saja waktu itu. Di zaman itu kebanyakan pemain depan yang lincah dan saya dari segi postur terbilang tinggi sehingga diputuskan pindah posisi sebagai bek tengah.
Posisi baru saya ini lantas jadi permanen. Saat ditarik ke Diklat Ragunan saya main di posisi itu hingga akhirnya bisa masuk tim nasional kelompok umur. Mulai dari timnas kelompok umur U-16 sampai U-19.
Saya sempat tampil bersama timnas U-19 dalam sebuah ajang di Kyoto, Jepang tahun 1988. Angkatannya waktu itu ada Peri Sandria, Alexander Saununu, Listiyanto Raharjo, Bonggo Pribadi hingga Kashartadi.
Di bangku kelas tiga SMA, saya juga sudah rutin ikut latihan bersama Pelita Jaya. Pagi latihan bareng tim Diklat Ragunan kemudian sore harinya ikut latihan dengan Pelita Jaya.
Meski sudah sering ikut latihan di sana, saya tidak berjodoh dengan Pelita Jaya. Enam bulan sebelum tamat SMA, saya diminta untuk keluar dari Diklat Ragunan untuk main di Diklat Sawangan, tetapi saya menolak.
 Sudirman besar di Diklat Medan hingga akhirnya bisa mentas sebagai pemain profesional. (Foto: Instagram/@jend_sudirman) |
Saya ngeyel enggak mau keluar. Akhirnya begitu tamat SMA, situasi saya sempat menggantung, apalagi Bapak Rahim Soekasah juga yang mengajak saya sedang berada di Amsterdam, Belanda.
Sejumlah tawaran datang pun datang. Asisten pelatih Petrokimia Putra, Sutan Harharah meminta saya untuk bergabung dan ada PKT Bontang juga meminta saya. Namun, pada akhirnya saya menjatuhkan pilihan ke Arseto Solo setelah Abang Danurwindo mendatangi saya ke Diklat Ragunan.
Pertimbangannya saya memilih Arseto karena di sana banyak pemain-pemain senior. Ada Ricky Yakob, Nasrul Koto, Inyong Lolombulan, kiper Asmawi Jambak, dan Hartono Ruslan.
Mereka ini sudah pemain senior dan saya melihat peluang untuk jadi pemain inti besar di Arseto. Kalau aku di Pelita, saya bersaing dengan teman-teman sendiri, masih muda-muda juga.
Saya delapan tahun main di Arseto, dari tahun 1988 sampai 1996. Klub ini jadi yang terlama pernah saya perkuat semasa aktif bermain sepak bola.
Tahun 1992, kami berhasil jadi juara kompetisi Galatama. Saya jadi pemain inti di Arseto dan pintu untuk menjadi bagian Timnas Indonesia terbuka sejak berada di sana.
Arseto jadi klub yang paling berkesan dalam karier saya. Saya ikut andil mengantarkan Arseto yang ketika itu belum pernah sekalipun jadi juara. Di tiga laga beruntun mendekati akhir musim, saya yang seorang pemain belakang terus mencetak gol.
Gol yang saya cetak ke gawang Asyabab membuat kami mengamankan gelar juara meski kompetisi masih menyisakan satu pertandingan. Meski bermain sebagai bek tengah, di Arseto untuk eksekusi tendangan bebas dan penalti kerap kali saya yang mengambil.
Saya lantas memutuskan hijrah ke Mastrans Bandung Raya tahun 1996. Ada banyak eks pemain Pra Piala Dunia 1989 di sana macam Herry Kiswanto, Alexander Saununu. Dua musim di sana, dua kali Mastrans Bandung Raya masuk final.
Di musim pertama langsung juara mengalahkan PSM di partai final. Tetapi di tahun berikutnya kami harus mengakui keunggulan Persebaya di partai puncak.
Pengalaman yang tidak terlupakan juga saya alami bersama Mastrans Bandung Raya saat tampil di Piala Winner Asia musim 1996/1997. Kami benar-benar dikerjai wasit di sana. Ada momen Peri Sandria ditarik pemain lawan di kotak penalti mereka tidak pelanggaran. Akhirnya rusuh itu pertandingan, ada yang berantem juga.
Persikota Tangerang jadi klub ketiga saya begitu meninggalkan Manstrans Bandung Raya yang bubar. Berikutnya saya hijrah ke PSPS Pekanbaru sembari ambil lisensi kepelatihan. Persid Jember yang ketika itu bermain di Divisi Dua jadi klub terakhir hingga saya akhirnya memutuskan pensiun dalam usia 34 tahun.
Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>>
Panggilan 'Jenderal' ini pertama kami disematkan ke sana ketika bermain di Arseto. Sebagai seorang pesepakbola, mulut saya ini bisa dikatakan gacor kalau sedang berada di lapangan he..he..he
Dan itu jarang terjadi di Arseto karena banyaknya pemain-pemain senior jadi pemain- pemain muda itu nggak berani ngomong. Segan lah. Kalau saya nggak ada cerita. Kalau ada yang salah ya saya marahin. Mau itu Inyong Lolombulan, Eduard Tjong, Ricky Yakob, ya kalau salah saya teriakin.
Dulu di Arseto jarak antara pemain senior dan junior jauh sekali. Contoh saat makan siang atau makan malam itu pemain-pemain muda selalu terakhir.
Jadi selesai dulu pemain senior makan baru gantian pemain junior. Saya melihatnya ini enggak benar, dan saya bilang ke sesama pemain muda kita gabung saja makan bareng dengan pemain senior. Akhirnya gabung juga lama-lama, senior-senior itu akhirnya senang juga.
Enggak ada takutnya memang waktu itu ha..ha..ha. Dari situlah Abang Danurwindo panggil saya dengan sebutan 'Jenderal'. Asisten pelatih Andi Teguh juga mengikuti dengan panggilan yang sama. Akhirnya semua teman-teman panggil saya 'Jenderal' di Arseto.
Kebetulan juga nama saya Sudirman dan suka ngatur-ngatur juga lapangan karena kan pemain belakang. Seingat saya sejak dari Diklat Ragunan memang sudah bawaannya seperti itu. Pemain sih nggak ada komplain ke saya soal sikap di lapangan. Justru kalau saya lihat mereka senang, para pemain senior karena merasa ada yang memberi tahu mereka di lapangan.
Saya juga mesti mengapresiasi Abang Danurwindo. Sebagai seorang pelatih, dia sosok yang perhatian pada pemainnya tidak terkecuali para pemain muda. Berkat polesannya juga saya bisa menunjukkan kemampuan yang terbaik di lapangan.
Kiprah saya bersama Arseto membuat pintu ke Timnas Indonesia terbuka. Saya pun jadi bagian dari tim asuhan Anatoli Polosin yang mampu merebut emas SEA Games 1991 di Manila, Filipina.
Pada awal kedatangan Polosin, Timnas Indonesia sudah ambil bagian di Piala Kemerdekaan dan kalah dari Australia di final. Piala Presiden di Korea jadi ajang berikutnya yang kami ikuti. Kami sempat bermain melawan Mesir yang baru saja tampil di Piala Dunia 1990 dan hasilnya kalah telak 0-6.
Partisipasi di sejumlah turnamen dan masa persiapan yang benar-benar berat jadi kunci di balik sukses Timnas Indonesia ketika itu. Persiapannya gila-gilaan. Latihan sehari tiga kali, fisik dan mental benar-benar diasah selama pemusatan latihan.
Latihan fisik dan mental terus ditempa. Harapan Polosin saat berada di lapangan, para pemain Timnas Indonesia sudah tidak ada rasa takut.
Sering juga saya dimaki sama Polosin. Begini, saya kan orangnya suka bercanda saat latihan. Polosin nggak senang, dia nggak mau ada pemain bercanda saat latihan.
Latihan itu kalau dari kacamata Polosin dari muka harus serius, nggak boleh ada senyum-senyum. Keras banget. Tetapi kita menjalaninya happy, kami bawa gembira saja.
Benar-benar berkesan meski latihannya berat saya pribadi nggak pernah cedera parah. Saya nggak pernah merasa ketarik otot atau cedera engkel. Bahkan flu sama pilek saja nggak pernah.
Persiapan kami paling lama saat TC paling dikumpulkan sebulan. Itu terjadi karena kita pernah pemusatan latihan di Australia selama satu bulan.
Menjelang SEA Games Manila, satu bulan penuh, kami juga TC di Bandung, di kawasan Gunung Lagadar. Seminggu itu sekali atau dua kali itu pasti naik gunung itu.
 Sudirman sukses mengeksekusi penalti saat meraih medali emas SEA Games 1991. (Instagram/@jend_sudirman) |
Pas main di lapangan, kami nggak pernah merasa capek. Semua lawan yang menguasai bola kita kejar. Terus kami tekan sehingga lawan-lawan yang kami hadapi keteteran di SEA Games 1991.
Kami bisa meraih medali emas karena efek dari latihan keras Polosin. Di babak semifinal dan final kami harus melalui pertandingan sampai adu penalti tetapi kondisi badan masih tetap bugar-bugar saja.
Memang kalau permainan secara taktikal enggak bagus. Di sesi latihan pun untuk taktikal nggak pernah ngelatih kita istilahnya diberikan patron-patron atau pergerakan oleh Polosin. Banyaknya sesi small sided games dan perintahnya jelas: kejar kemanapun bola bergerak.
Kami pun bisa melangkah sampai ke partai puncak dan harus melalui adu tendangan penalti melawan Thailand. Dari lima penendang pertama Timnas Indonesia, eksekusi penalti Widodo Cahyono Putro dan Maman Suryaman bisa dimentahkan kiper Thailand.
Tetapi kiper Eddy Harto juga bisa menggagalkan dua penendang penalti Thailand. Skornya jadi imbang 3-3. Lalu untuk penendang keenam belum ada arahan siapa yang akan jadi eksekutor.
Bang Danurwindo lantas menunjuk Robby Darwis, tetapi Robby Darwis enggak berani. Akhirnya saya tunjuk tangan, saya bilang beranilah tendang penalti.
Saya sama-sama sudah pernah bersama coach Danur di Arseto. Dia lantas bilang, ya sudah kamu saja yang ambil tendangan penalti. Begitu sudah diputuskan, saya berjalan dari tengah lapangan ke arah bola itu rasanya seperti melayang.
Penonton yang riuh di stadion tidak terdengar saking saya begitu fokus untuk menendang penalti. Ada rasa tegang begitu hebat yang muncul. Dalam hati juga berkecamuk sambil berjalan apakah tendangan penalti saya bisa masuk atau malah gagal.
Tiba-tiba bermunculan pikiran semacam itu. Bahkan sampai kalau sampai tendangannya nggak masuk maka bakal kacau semuanya,
Saat berjalan ke arah bola saya sudah menentukan arah tendangan. Pokoknya saya ulang berkali-kali dalam pikiran saya akan menendang ke arah kanan, ke kanan. Enggak berubah lagi.
Kiper Thailand itu juga atraktif banget, sering ngejek-ngejek. Waktu itu saya ambil bola dan taruh ke titik 12 pas dan tidak melihat dia bergerak-gerak, saya membelakangi dia.
Begitu bola yang saya tendang masuk akhirnya lega. Alhamdulillah Eddy Harto juga bisa menepis tendangan penalti Thailand dan akhirnya kita juara, meraih emas SEA Games 1991. Itu pengalaman yang tidak terlupakan, momen yang akan selalu ingat.