Bagi Indonesia, gagal meraih emas cabang olahraga badminton di Olimpiade adalah kiamat. Yang makin berbahaya, situasi gawat ini masih akan terus melekat.
PBSI telah melakukan yang terbaik dalam persiapan menuju Olimpiade Paris 2024. Dalam tim ad hoc yang dibentuk Januari, meski telat karena race to Olympics sudah setengah jalan, mereka sudah mengerahkan upaya terbaik untuk mendukung persiapan atlet-atlet.
Sebelum tampil di Olimpiade, PBSI juga sudah mengirim Tim Badminton Indonesia untuk pemusatan latihan di Chambly. Semua itu dilakukan guna menciptakan atmosfer yang kondusif untuk para pemain agar langsung siap begitu pertempuran tiba.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun seperti yang sudah dipahami banyak orang. Kerja keras di dunia olahraga bukanlah sebuah hal yang istimewa karena semua atlet yang tampil di Olimpiade pasti melakukannya.
Ujungnya, hanya hasil akhir yang dihitung. Pemenang akan tertawa lebar, mungkin diikuti juga senyum yang cukup bahagia dari peraih perak dan perunggu. Sedangkan atlet lainnya hanya bisa merana meratapi hasil yang tak sesuai harapan.
Apalagi untuk ukuran Indonesia, badminton berarti juara. Karena itulah ketika tidak ada medali emas yang didapat, hal itu berarti sama saja dengan kiamat.
Sakit karena nol medali emas makin terasa menyengat bila melihat cara pemain-pemain Indonesia tumbang di lapangan. Semua berguguran sebelum mencapai langkah terakhir menuju medali emas.
Bahkan empat dari enam wakil yang ada, sudah terkapar saat Olimpiade masih menjalani babak penyisihan. Catatan ini jelas menyedihkan.
Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva memang tergabung di grup neraka. Namun dari tiga pertandingan yang dimainkan, Apri/Fadia bermain dengan tidak nyaman. Kekompakan Apri/Fadia seolah hilang ditelan beban besar sebagai harapan.
Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari memulai Olimpiade dengan baik. Mereka menang lawan Kim Won Ho/Jeong Na Eun. Namun mereka tak mampu melanjutkan jejak apik itu ke dua laga berikutnya. Bahkan saat peluang lolos ke perempat final terbuka di depan mata pada laga terakhir, Rinov/Pitha justru tampil jauh dari level yang mereka tunjukkan di pertandingan pertama.
Situasi paling mengecewakan jelas ada pada Jonatan Christie dan Anthony Ginting. Keduanya sempat menghadirkan All Indonesian Final di All England.
Hal itu yang membuat Jonatan dan Ginting ada di baris depan sebagai andalan untuk meraih emas. Namun nyatanya Jonatan dan Ginting bahkan tidak bisa bertahan hingga babak akhir.
Mereka sudah terjungkal saat laga nomor tunggal putra belum memasuki fase krusial. Keduanya tak mampu jadi juara grup dan harus melupakan ambisi jadi yang terbaik di Paris 2024.
Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto bisa bertahan hingga perempat final. Namun mereka kembali mengulang hal yang sama saat bertemu Liang Weikeng/Wang Chang, yaitu kalah impresif di poin-poin kritis. Perjalanan mereka pun terhenti.
Catatan terbaik dimiliki Gregoria Mariska Tunjung. Ia bisa bertahan hingga fase akhir. Gregoria menembus babak semifinal dan kalah lewat duel sengit di tangan An Se Young. Gregoria membawa pulang perunggu dan hal itu jadi hiburan di tengah penderitaan Tim Badminton Indonesia karena tradisi emas terhenti.
Kegagalan meraih emas badminton di Olimpiade jelas jadi kegagalan PBSI. Walaupun Tim Ad Hoc berusaha melakukan sentuhan akhir yang bagus, secara keseluruhan ada kesalahan-kesalahan PBSI di bawah era Agung Firman Sampurna.
![]() |
Salah satu hal yang paling mencolok adalah penanganan cedera. Penanganan cedera atlet terlihat kurang optimal. Contoh yang paling terlihat ada di kasus Apriyani Rahayu yang dalam satu tahun terakhir terlihat terus bergelut dengan cedera dan rasa tak nyaman serta khawatir setiap bertanding.
Ada pula perihal kasus mata minus dan silinder Daniel Marthin yang tidak ditanggulangi dengan cepat. Padahal penanganan cepat itu bisa saja membuat Indonesia punya dua wakil di Paris 2024.
Masalah mental juga masih belum bisa diatasi dengan baik oleh PBSI. Pemain-pemain masih terlihat tampil penuh beban di lapangan. Kecenderungan bermain dengan tekanan membuat pemain-pemain Indonesia tidak bisa bermain di level kemampuan terbaik yang seharusnya bisa mereka tampilkan.
Tim Ad Hoc pun harusnya berdiri sebelum race to Olympics dimulai. Hal tersebut bakal menunjang kinerja atlet lebih optimal dalam pengumpulan poin, yang nantinya juga berkaitan dengan status unggulan. Juga tentang pemetaan agar kondisi atlet seharusnya mencapai puncak performa di Olimpiade Paris 2024 dan bukan malah sebaliknya.
Pemain juga tentu punya kontribusi dalam kegagalan. Karena bagaimanapun, mereka yang pada akhirnya berjuang di lapangan.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>