Moorissa Tjokro asal Indonesia merupakan salah satu dari sedikit insinyur wanita di lingkungan otomotif. Dia saat ini bekerja di perusahaan pembuat mobil listrik di Amerika Serikat, Tesla.
Posisi lulusan Georgia Institute of Technology dan Columbia University itu tidak sembarangan, dia adalah Autopilot Software Engineer atau insinyur perangkat lunak autopilot di kantor pusat Tesla di San Francisco, California, AS.
Autopilot adalah salah satu kecanggihan mobil yang telah dikembangkan Tesla sejak lama. Sistem ini membuat mobil yang dikendarai tak perlu lagi sepenuhnya dikontrol sopir, diganti komputer berbasis sensor dan radar yang sanggup mendeteksi, menganalisa, kemudian mengambil keputusan di jalanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi sebagai Autopilot Software Engineer yang kami lakukan mencakup seperti gimana sih mobil itu dapat melihat dan mendeteksi lingkungan sekitar. Kemudian bermanuver ke kanan dan kiri, evaluasi serta testing," kata Moorissa mengutip pemberitaan VOA Indonesia pada Desember 2020.
"Ini penting jadi bikin sistem seaman mungkin buat mobil Tesla. Jadi sebelum diluncurkan itu kami selalu testing untuk menghitung risiko-risiko agar semua aman," tambahnya.
Moorissa tidak bekerja sendiri, ia bersama rekan satu tim bekerja mengembangkan dan meningkatkan sistem kemudi untuk mobil listrik Tesla.
Ia juga terlibat langsung pengembangan sistem full self driving di mobil Tesla, yang merupakan sistem otonom level lima atau level tertinggi yang membuat mobil dapat dikendarai tanpa campur tangan manusia sepenuhnya.
Morissa menuturkan pekerjaan di Tesla ini dianggap paling sulit selama ia berkiprah sebagai insinyur.
"Beberapa minggu lalu saya ditarik untuk bekerja bikin full self driving atau autonomous sistem level lima, jadi kita tidak perlu injak gas atau rem, bisa menikung, terus tidak hanya bisa digunakan di jalan tol saja. Jadi mobilnya kerja sendiri. Dan ini benar-benar susah banget," katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, profesinya itu juga dikatakan tidak hanya menguras pikiran, melainkan juga waktu. Ia bisa bekerja 60 hingga 70 jam selama sepekan.
"Ya kerja jadi lebih banyak dari jam 10 pagi sampai 12 malam itu biasa. Di tim saya di autopilot 60-70 jam seminggu itu sangat normal," katanya.
Jumlah wanita yang memiliki gelar sarjana bidang teknik daam 20 tahun terakhir memang dinilai meningkat, namun berdasarkan data National Science Foundation di Amerika Serikat menyatakan jumlahnya masih berada di bawah insinyur laki-laki.
Organisasi nirlaba American Association of University Women yang bergerak memajukan kesejahteraan perempuan melalui advokasi, pendidikan, dan penelitian juga menyebut jumlah perempuan yang bekerja di bidang STEM hanya 28 persen.
Organisasi itu juga menyatakan kesenjangan gender masih tinggi pada beberapa pekerjaan dengan pertumbuhan tercepat dan dengan gaji yang tinggi pada masa depan, seperti di bidang ilmu komputer dan teknik atau engineering.
Hal tersebut dibenarkan Morrissa. dia berkata di dari 100 insinyur di Tesla hanya ada enam wanita.
"Di tempat saya ada enam orang dari 110 engineer dan dua produk manajer. Saya tidak tau statistik di luar atau di luar Tesla. Tapi 3-4 persen di otomotif mungkin sangat rendah," ucap dia.
Baca juga:Daftar Gaji Bos Otomotif Dunia |
Morissa tidak mengetahui pasti mengapa statistik perempuan yang terlibat dalam di dunia teknik, khususnya otomotif, terbilang masih sangat rendah. Namun ia berharap ada dukungan sehingga perempuan terus maju.
"Mungkin kurangnya role model di dunia dan memicu kesusahan untuk memotivasi di dunia teknologi ini khususnya otomotif," kata dia.
Ia berharap kepada semua orang dapat mengikuti kata hati untuk melakukan pekerjaan yang benar-benar diinginkan.
"Kepada perempuan atau laki-laki yang menekuni bidang apapun, jadi walau banyak orang yang mungkin tidak setuju atau pikir keputusan kita bukan terbaik, tapi kalau kita follow heart ya tidak mungkin nyesel," kata Morrissa.
Perempuan kelahiran 1996 itu mengaku sangat menikmati profesinya saat ini. Terlebih sejak kecil ia sudah menyukai dunia 'berhitung'.
"Aku dari kecil suka matematika dan aljabar dan orang tua pengen aku masuk di tempat lebih sains," kata dia.
Ia juga mengatakan pekerjaanya kini terinspirasi sang ayah yang seorang insinyur.
"Ayahku, karena dia inspirasi, dia insinyur electric dan entrepreneur. Itu memang penuh tantangan tapi menyenangkan," katanya.
Pengalaman di bidang engineer tidak hanya di perusahaan Tesla. Ia sudah melanglang buana pada industri yang berkaitan dengan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Ia sudah menjadi asisten pengajar di Georgia Institute of Technology pada tahun 2012-2013 untuk ilmu komputer dan statistik. Kemudian Morrissa menjadi asisten peneliti pada program pangan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 2013-2014.
(can/fea)