Tumben-tumbenan isu substantif jadi materi awal debat kampanye (tak resmi) bakal calon presiden.
Ini terjadi ketika Anies Baswedan yang diusung sebagai Bacapres Koalisi Perubahan mengkritik subsidi mobil listrik (moblis) dua pekan lalu. Hingga saat ini isu ini masih jadi bahan yang banyak dibahas di media utama maupun sosial.
Menurut laporan media, sudah ada sedikitnya empat pejabat yang merespons kritik Anies.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menko Marinves Luhut Panjaitan mengatakan pemberian subsidi sudah melalui studi komprehensif dan dilakukan di seluruh dunia. Pernyataan Menko Perekonomian dan Perindustrian Airlangga Hartarto pun sama. Intinya: "Jangan lawan arus dunia".
Menteri Perindustrian Agus Kartasasita menilai kritik Anies hanya satu sisi karena di luar isu emisi visi pemerintah adalah menciptakan industri moblis yang "akan menciptakan tenaga kerja ... dan bisa memanfaatkan program hilirisasi yaitu nikel...".
Dari Istana, Kepala Kantor Seketrariat Presiden Moeldoko menjawab instrumen pengembangan moblis, termasuk subsidi, sudah disiapkan. Sehingga, skema akan "tetap jalan" meski ada kritik.
Di sosial media, debat berjalan lebih subur dan seru. Pokok pangkalnya tidak jauh dari: benarkah subsidi moblis tidak berdampak signifikan pada pengurangan polusi dan apakah dampak lebih terasa kalau subsidi dialihkan pada moblis untuk transportasi umum?
Tidak usah lah dibahas bagaimana debat antar-rakyat ini memberi lebih banyak nuansa pada informasi publik ketimbang kutipan para pejabat, meskipun lontaran caci-maki pengguna medsos kerap muncul juga, maklum dunia maya nyaris tanpa aturan.
Yang penting dicatat barangkali dua hal: kemana suara dua Bacapres lain dan kenapa debat kebijakan seperti ini jarang sekali muncul padahal Pilpres tinggal delapan bulan lagi?
Isu seperti kebijakan moblis sangat krusial dibahas publik. Pertama, karena anggarannya adalah APBN yang dibayar dengan uang rakyat dan kemungkinan disokong oleh utang yang dicicil oleh rakyat pula. Jumlahnya lumayan, Rp7 triliun.
Kedua, isu moblis erat kaitannya dengan komitmen emisi nol persen pada 2060, sebagai janji Indonesia mengatasi dampak perubahan iklim. Untuk mengejar target ini, pemakaian campuran energi terbarukan harus terus dinaikkan, sementara target pemerintah mencapai 23% bauran pada 2025, saat ini baru tercapai 10% menurut laporan IESR akhir tahun lalu.
Artinya sampai 2023, sumber energi kita masih 90% berasal dari fosil, terutama batu bara. Apakah program subsidi moblis tetap masuk akal sebagai upaya kejar target pengurangan emisi kalau sumber energi utamanya masih 90% batubara?
Ketiga, elektrifikasi moda transportasi seperti moblis sangat penting dalam upaya menurunkan tingkat polusi udara. Menurut WHO polusi berkait dengan tujuh juta kematian global per tahun.
Di Indonesia, polusi berkontribusi langsung pada penyakit ISPA yang jadi penyebab kematian terbesar nomor dua balita. Menurut amatan salah satu aplikasi pemantau kualitas udara kota besar Indonesia, polusi udara berbagai kota di Indonesia makin parah akhir-akhir ini. Percepatan elektrifikasi alat diharapkan memperbaiki kualitas udara tersebut, terutama di kota besar seperti Jakarta dan ibu kota provinsi lainnya.
Keempat, kebijakan moblis, apakah untuk kendaraan pribadi dan transport publik, membuka peluang untuk mengurangi kecanduan Indonesia pada subsidi BBM yang mencapai 500 triliun per tahun lalu, juga peluang mengurai kemacetan dan problem parkir perkotaan.
Kelima, membahas moblis untuk bus listrik berpeluang menciptakan transportasi publik di kota-kota yang selama ini hampir tak punya sistem transportasi.
Kota-kota ini bisa membangun transportasi umumnya dengan menggunakan armada listrik, istilahnya leapfrogging alias lompat level, tak perlu memulai moda transportasinya dengan bahan bakar energi fosil seperti Jakarta.
Akhirul kata, tidak ada negara di dunia yang berhasil mendekati target emisi nol tanpa melakukan transisi energi dari sumber fosil seperti BBM dan batubara di Indonesia saat ini, kecuali dengan elektrifikasi dari energi terbarukan.
Sementara transisi energi cuma bisa dilakukan dengan menciptakan sistem transportasi yang efisien secara energi: tidak boros, tepat sasaran dan hijau. Supaya adil bagi semua kalangan, titik berat penciptaan sistemnya harus ditekankan pada peningkatan kualitas transportasinya untuk publik.
Balik ke pertanyaan awal: apakah gelontoran subsidi moblis untuk hampir 36 ribu unit mobil dan 200 ribu sepeda motor dan 138 bus akan meningkatkan kualitas transportasi bagi semua orang? Atau, bila komposisinya dibalik yaitu memperbanyak subsidi untuk bus listrik seperti kritik Anies Baswedan, akankah ada jaminan kualitas transportasinya meningkat?
Pak Prabowo dan Pak Ganjar, ditunggu ya suaranya.
(vws)