Kabar meninggalnya bomber Liverpool FC, Diogo Jota, dalam kecelakaan saat mengendarai supercar Lamborghini memunculkan kembali peringatan soal bahaya mengemudi mobil berperforma tinggi. Supercar, yang didesain dengan tenaga besar dan respons ekstrem, bukan kendaraan biasa yang bisa dikendalikan tanpa penguasaan fisik dan mental yang memadai.
Supercar adalah mobil kencang yang dikembangkan dari teknologi balap dan sudah dimodifikasi agar dapat melaju di jalan umum. Meski begitu, karakter dan tenaganya tetap berbeda jauh dari mobil biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Supercar, yang dengan ciri khas punya daya lebih dari 500 tenaga kuda memungkinkan akselerasi ekstrem dalam waktu singkat, yang bisa menjadi bumerang jika tak dikendalikan dengan tepat.
Menurut praktisi keselamatan berkendara dari Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), Jusri Pulubuhu, kecelakaan yang melibatkan supercar jarang disebabkan kurangnya hard skill atau kemampuan teknis mengemudi. Hal paling krusial justru adalah soft skill, yaitu bagaimana pengemudi mengontrol ego, memahami risiko, serta berpikir jernih dalam tekanan.
Jusri menegaskan setiap pengemudi supercar harus memahami sepenuhnya karakteristik kendaraan mereka. Termasuk di dalamnya cara kerja mesin, pilihan mode berkendara, hingga fitur-fitur keselamatan aktif seperti Traction Control System atau Active Stability Control.
Salah satu kesalahan fatal yang sering dilakukan adalah mematikan fitur-fitur keselamatan tersebut demi mengejar sensasi berkendara. Padahal, fitur seperti kontrol traksi berfungsi mencegah ban kehilangan cengkeraman.
"Jangan bergaya segala mematikan fitur, misalnya kontrol traksi. Itu kalau dimatikan bisa menyebabkan roda spin (berputar tak terkendali). Kalau sudah pengalaman tidak apa-apa karena mereka memang mau cari sensasi berkendara," ucapnya.
Supercar juga umumnya memiliki ground clearance rendah, sehingga tak cocok dikendarai di jalanan yang bergelombang atau penuh lubang seperti di banyak wilayah Indonesia. Selain itu, pengereman juga harus diperhitungkan secara matang, mengingat laju supercar yang bisa mencapai kecepatan tinggi dalam sekejap.
"Ingat ini teori dasar semakin berat semakin besar momentum. Semakin besar tenaga semakin besar momentum, semakin cepat semakin besar momentumnya," tambahnya.
Menurut Jusri, penting bagi pengemudi memahami mode berkendara sebelum mulai memacu mobil. Mode paling santai seperti "Normal" biasanya paling aman karena menahan keluaran tenaga agar tak terlalu liar.
"Jangan asal injek gas, pahami dahulu mobilnya. Mobil ini beda dengan mobil biasanya. Gunakan mode berkendara yang paling santai. Supercar itu kan punya pilihan mode. Pilih yang rendah supaya kemampuan mesin itu tidak keluar semua," sambungnya.
Adrenalin
Jalanan kosong, cuaca cerah dan suara mesin supercar yang menggelegar bisa menjadi kombinasi menggoda yang mendorong pengemudi lepas kendali. Jusri menyebut momen-momen seperti ini bisa memicu produksi adrenalin dan endorfin, yang membuat logika pengemudi tumpul.
"Ketika adrenalin naik, itu logika enggak main. Ketika logika enggak main, segala referensi kita, tentang kita orang tua, kita pemimpin perusahaan, suami, atau bapak dari anak-anak, atau harus tertib, lupa semua bos. Terlena," kata Jusri.
Jusri menyebut empat faktor utama penyebab kecelakaan: lingkungan, kendaraan, cuaca, dan manusia. Di antara semuanya, kesalahan manusia menjadi penyumbang terbesar.
Oleh karena itu, supercar sebaiknya dikendarai di sirkuit tertutup yang lebih aman dan bisa diawasi secara ketat.
Namun, masih banyak pemilik supercar yang lebih memilih memacu kendaraannya di jalan raya. Bahkan di kondisi jalan sepi sekalipun, risiko tetap tinggi karena minimnya pengawasan.
Belajar dari kasus Diogo Jota
Meski Diogo Jota adalah atlet profesional dengan refleks dan kontrol tubuh luar biasa, hal itu tak cukup untuk menjamin keselamatan di balik kemudi supercar. Kecelakaan yang menimpanya menjadi pengingat bahwa siapa pun bisa celaka saat mengendarai mobil bertenaga besar.
Supercar bukanlah kendaraan biasa. Ia butuh lebih dari sekadar nyali, melainkan juga pengetahuan, kontrol diri, dan kesadaran penuh akan konsekuensi yang mungkin terjadi hanya dalam hitungan detik.
(job/fea)