Produksi Mobil Turun, Industri Komponen Otomotif Cari Peluang Ekspor
Kukuh Kumara, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengungkap tidak sedikit perusahaan komponen otomotif di Indonesia mengalami kesulitan efek dari penjualan kendaraan yang loyo.
Menurut Kukuh kehadiran kendaraan listrik impor berhasil menekan produksi mobil dalam negeri dengan penggunaan komponen lokal tinggi. Kondisi tersebut berhasil mengganggu keseimbangan industri komponen dalam negeri.
Lebih dari itu Kukuh menyatakan tidak sedikit dari perusahaan komponen mengeluh akibat permintaan produk mereka turun, serta sebagian memilih 'menyerah' sehingga terpaksa merumahkan pekerja.
"Banyak perusahaan komponen juga mengeluh, karena suplai ke pabrikan kurang. Untung mereka masih ada ekspor, sehingga masih bisa berjalan, tetapi ada sebagian yang sudah melakukan PHK," kata Kukuh dalam keterangan tertulis Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dikutip Senin (1/9).
Kukuh berujar insentif BEV impor dalam rangka tes pasar memang sukses meningkatkan adopsi mobil tanpa bahan bakar minyak. Tetapi, hal ini menekan kinerja industri yang sudah lama eksis, termasuk dari sektor komponen.
Gaikindo mencatat, utilisasi industri mobil malah turun dari 73 persen menjadi 55 persen tahun ini, seiring turunnya penjualan mobil domestik.
Pada tahun lalu, penjualan mobil domestik telah surut menjadi 865 ribu unit, sementara 2014 menyentuh angka 1,2 juta unit. Tren ini berlanjut pada tahun ini, di mana per Juli lalu, penjualan mobil turun 10 persen menjadi 453 ribu unit.
Kukuh menyatakan penurunan penjualan mobil dipicu pelemahan daya beli dan mahalnya pajak mobil di luar kendaraan listrik.
Namun yang disayangkan, saat ini tidak semua mobil dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tinggi mendapatkan insentif. Sebaliknya, pemerintah malah jor-joran memberikan insentif besar bagi BEV impor untuk menarik investasi.
Sementara itu Riyanto, peneliti LPEM UI menuturkan insentif kendaraan listrik impor CBU memang mampu mendorong penjualan pada 2024 dan 2025.
Artinya, uji pasar berhasil. Bahkan, kendaraan listrik impor merajai pasar domestik. Porsinya mencapai 64 persen per Mei 2025, naik tajam dari hanya 40,2 persen pada periode sama tahun lalu.
Namun demikian, menurut Riyanto, insentif BEV Impor hanya berdampak ke sektor perdagangan saja yang memiliki efek berganda (multiplier effect), jauh lebih kecil dibandingkan dengan produksi lokal. Ini juga membuat utilisasi produksi pabrik dalam negeri tidak optimal.
"Seharusnya insentif BEV CBU tidak diperpanjang, agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga menjadi pusat produksi BEV," kata Riyanto.
Respons GIAMM
Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor (GIAMM), sebagai asosiasi industri pemasok komponen otomotif nasional menyebut situasi tersebut cukup memberi dampak pada anggotanya yang kini terpaksa melakukan PHK pada pegawainya.
Rachmat Basuki, Sekretaris Jenderal GIAMM menjelaskan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada industri komponen otomotif telah terjadi sejak pertengahan 2024. Kata dia hal ini terjadi akibat akumulasi atas situasi pasar otomotif yang turun sejak 2023.
Rachmat mengurai kondisi pasar otomotif yang amburadul membuat pasokan komponen ke pabrikan turun sekitar 28 persen, per 22 Juli 2025.
Penyebab lain adalah meningkatnya impor truk CBU untuk kebutuhan pertambangan turut menekan pasar. Sementara itu pasar mobil listrik di Tanah Air yang didominasi produk impor CBU memang mengalami pertumbuhan, tetapi kendaraan jenis tersebut tak membutuhkan komponen sebanyak mobil konvensional.
"Itu sebagai akumulasi penurunan pasar sejak 2023 sampai sekarang, karena supply ke pabrikan mobil berkurang 28 persen 22 July 2025. Plus berkembangnya marker share BEV (battery electric vehicle) 10 persen, ditambah import truk CBU untuk tambang," kata Rachmat saat dihubungi, Rabu (27/8).
"Total pasar tergerus lebih dari 38 persen, dengan sangat terpaksa beberapa industry komponen atau part yang tidak bisa ekspor mengurangi karyawannya," ucapnya lagi.
Rachmat tidak menyebut jumlah pekerja terdampak, namun dari laporan perusahaan anggota GIAMM, jumlah karyawan kena PHK bervariasi mulai dari 3 persen sampai 23 persen dari total pekerja sebuah perusahaan komponen.
Saat ini GIIAM beranggotakan 250 perusahaan komponen berskala kecil hingga berstatus industri semi padat karya.
"Berdasarkan informasi anggota, pengurangan karyawan sebenarnya mulai terjadi di pertengahan 2024. Berdasarkan info per Juli kemarin pengurangan karyawan bervariasi 3-23 persen tergantung dari jenis perusahaan masing-masing," tutup Rachmat.
(ryh/mik)