Jakarta, CNN Indonesia -- Praktisi Komunikasi Publik Charles Bonar Sirait mengimbau Presiden Joko Widodo menata cara komunikasi pemerintahannya ke publik. Menurutnya, Presiden Jokowi dapat mempelajari cara berkomunikasi yang efektif pada kepemimpinan era sebelumnya.
Charles menilai contoh gaya komunikasi yang efektif banyak dicontohkan oleh pemerintahan era Soeharto. Hal itu terutama karena penyampaian informasi hanya dilakukan oleh Menteri Penerangan Harmoko dan Menteri Sekretaris Negara Moerdino. Bahkan, Moerdiono saat itu dikenal dengan sebutan Sang Presiden Satu Setengah.
"Di luar pemerintahan Soeharto selama 32 tahun, kami berharap Jokowi bisa melihat ke pemerintahan Soeharto. Gunakan satu pilar komunikasi dari Jokowi," ucap Charles saat berbincang dengan CNN Indonesia, kemarin.
Menurutnya, sistem komunikasi di internal pemerintahan Jokowi terlalu kompleks. Itu disebabkan hampir semua menteri berbicara pandangannya ke publik. Padahal, menurutnya Presiden pemegang kewenangan seutuhnya dan menjadi sumber utama informasi.
Oleh sebab itu, ia menilai para 34 menteri sekarang berada dalam Kabinet Bicara, bukan Kabinet Kerja. Charles bahkan menganalogikan sistem komunikasi pemerintahan Jokowi dengan macetnya jalan raya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Contohnya, ada mobil bagus tapi karena lalu lintas macet jadi tidak kelihatan. Diatur lalu lintasnya sehingga terlihat bagus. Begitu juga dengan Jokowi, panggung dan bintang seharusnya berada di Jokowi," ucap Charles.
Presenter kondang ini juga menilai tidak terlalu terlihatnya kerja dari Teten Masduki saat masih menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan karena aktifnya para menteri pemerintahan Jokowi.
"Tidak kelihatan karena ketutupan menteri-menterinya tadi. Traffic di Medan Merdeka Barat ini kepenuhan, semua bicara," ujarnya.
Oleh karena itu, Charles menilai seharusnya hanya lima orang yang dapat berbicara dan menyampaikan kebijakan pemerintahan ke publik. Mereka adalah Presiden Jokowi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki dan juru bicara kepresidenan.
Penunjukkan juru bicara, ucap Charles, diperlukan untuk mengurangi tingginya lalu lintas komunikasi dari pemerintah ke publik. Ia lantas mencontohkan saat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden. Saat memimpin bersama Jusuf Kalla, SBY juga memiliki Dino Patti Djalal dan Andi Mallarangeng sebagai juru bicara. Dino bahkan tetap menjadi juru bicara bersama Julian Aldrin Pasha saat SBY berpasangan dengan Boediono memimpin Indonesia.
"Kalau memang mendesak, yang lain baru boleh bicara. Wapres baru kasih pernyataan saat presiden tidak hadir. Atau Mensesneg kurang mengerti kemaritiman, bisa didampingi Menko Rizal Ramli," ujar Charles.
Semua Ingin Jadi BintangCharles juga menilai lingkar eksekutif pemerintahan Jokowi-JK terlihat ingin mendapatkan panggung dan menjadi "bintang" di masyarakat. Charles mengatakan seharusnya presiden menjadi sumber utama informasi pemerintahan ke publik.
"Tapi, ada trend sekarang semua ingin jadi bintang," kata Charles.
Charles menyoroti sering berbeda pendapatnya Jokowi dan JK. Menurutnya, Jusuf Kalla memiliki popularitas yang tinggi, disenangi dan mudah diwawancarai media. Ia menilai, memiliki partner seperti Jusuf Kalla memang lebih menarik terutama saat kampanye. Namun, itu memiliki kemungkinan mendistorsi komunikasi lebih besar seperti saat ini.
"Memiliki partner dengan popularitas yang tinggi memang perlu pengelolaan yang hebat. Sama seperti suami istri. Kalau berdua tukang bicara, apa tidak ribet nanti publik dengarnya," ujar Charles.
Charles turut membandingkan komunikasi pemerintahan Jokowi-JK dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sebelas tahun yang lalu. Ia mengatakan peran JK saat itu memperkuat kepemimpinan SBY. Namun, itu tak terlihat kembali saat JK mendampingi Jokowi.
"Sekarang berbeda. JK juga umurnya bertambah dan itu mempengaruhi komunikasi," ujarnya.
Tak hanya itu, presenter kondang ini juga membandingkan pemerintahan Jokowi-JK dan SBY-Boediono. Ia mengatakan lalu lintas informasi pemerintahan SBY-Boediono tidak seramai sekarang. Menurutnya, itu dikarenakan pintu informasi selalu berada di SBY.
Charles melihat Boediono baru muncul ketika SBY tidak dapat menghadiri suatu acara. Menurutnya, pernyataan yang disampaikan Boediono juga bukan penafsirannya sendiri, melainkan hasil pemikiran dan apa yang sesungguhnya akan disampaikan SBY.
"Ini persoalan memilih mitra. Sekarang terlihat sepertinya area ini tidak terhitung saat kampanye," ucap Charles.
(utd)