Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menjelaskan alasan di balik gagasan pelibatan Presiden dalam pemilihan rektor di perguruan tinggi. Gagasan itu diwacanakan oleh Tjahjo pada 1 Juni lalu, bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila.
Tjahjo mengatakan, dirinya mengusulkan hal tersebut setelah melihat perguruan tinggi menjadi salah satu target utama gerakan radikal.
"Karena kampus di beberapa daerah dewasa ini menjadi salah satu target utama paham radikalisme, dan pengendalian kampus ada pada Rektor, maka sah-sah saja peran pemerintahan melakukan deteksi dini demi menjaga stabilitas daerah," kata Tjahjo dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Senin (5/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Deteksi untuk menangkal target-targer tersebut seperti radikalisme, terorisme, dan bahaya narkoba."
Dalam usulannya, Tjahjo menekankan bahwa bahwa pelibatan Presiden tak akan menghapus prinsip demokrasi dalam pemilihan rektor. Sebab, kata Tjahjo, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) dan Senat perguruan tinggi tetap menjadi pemegang kuasa untuk menentukan rektor.
Namun, ia menilai harus ada konsultasi yang dilakukan antara senat, Menristekdikti, dengan Presiden untuk memilih rektor di suatu tempat. Kerjasama antar lini tersebut dianggap mampu menangkal kemungkinan rektor yang berpaham radikal berkuasa di perguruan tinggi.
"Pada intinya Rektor dan Pemerintah harus dalam posisi klir untuk mampu deteksi dini dan berani untuk bersikap menangkal paham radikal di daerah dan di kalangan kampus," katanya.
Konsultasi dengan Presiden dalam memilih Rektor juga dianggap dapat mengangkat harkat pemimpin perguruan tinggi itu.
Lebih lanjut, Tjahjo menilai posisi Rektor sebenarnya setara dengan jabatan Menteri atau kepala daerah. Perbedaannya, Rektor bergerak di bidang pendidikan sementara Menteri dan kepala daerah bertugas di ranah pemerintahan.
"Saya melihat posisi Rektor amat strategis, yaitu sebagai palang pintu masa depan bangsa karena sosok persiapan pemimpin bangsa ada di kampus," katanya.
Saat ini proses pemilihan rektor diawasi oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Bakal calon rektor juga wajib membuat Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) dan menyerahkannya ke Komisi Pemberatasan Korupsi.
Selain itu, paparan visi dan misi serta program kerja calon rektor harus disaksikan oleh Menristekdikti atau perwakilannya. Rekam jejak para calon dapat dilacak pemerintah bekerjasama dengan PPATK atau lembaga lain.
Aturan terkait pemilihan rektor tertuang pada Peraturan Menristekdikti Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri.