GKR Pembayun di Tengah Dominasi Raja Pria Jawa

CNN Indonesia
Rabu, 06 Sep 2017 18:15 WIB
MK membuka peluang perempuan menjadi orang nomor satu di Yogyakarta. Masalahnya, penerimaan masyarakat dinilai rendah karena terbiasa dengan sosok pria.
Putusan MK telah menimbulkan polemik seputar suksesi kepemimpinan di Keraton Yogyakarta. (Antara Foto/Agus Nugroho)
Jakarta, CNN Indonesia -- Suksesi kepemimpinan di Keraton Yogyakarta kembali menjadi sorotan menyusul keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka peluang bagi perempuan untuk menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam putusannya MK mengabulkan gugatan soal syarat pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa syarat cagub dan cawagub Yogyakarta harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kata 'istri' dalam aturan itu resmi dihapus karena dinilai diskriminatif dan seolah memberikan syarat bahwa raja dan Gubernur di Yogyakarta harus laki-laki.

Dihapuskannya ketentuan yang mendiskreditkan perempuan untuk menjadi Gubernur di DIY sempat dianggap menjadi jawaban atas suksesi kepemimpinan di keraton. Terlebih, pada 2015 Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Raja telah mengeluarkan Sabda Raja.

Salah satu poin dari Sabda Raja adalah mengganti gelar Kalifatullah Sayidin" menjadi "Langgeng Ing Toto Panoto Gomo". Penggantian ini oleh sebagian kalangan dinilai sebagai upaya Sultan, yang tidak memiliki anak laki-laki, membuka jalan bagi putrinya, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, untuk menjadi raja. 

Sultan sendiri dalam keterangannya kepada media saat itu tak pernah mengaitkan Sabda Raja dengan persoalan suksesi.

Pun, dengan putusan MK yang menyentuh syarat pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Nyatanya, meski membolehkan Gubernur dijabat oleh perempuan, putusan MK pada dasarnya tidak berkaitan langsung dengan persoalan suksesi keraton. 

Jabatan untuk Pria

Walau otomatis menjabat Gubernur, pemegang posisi Sultan di DIY harus ditentukan melalui mekanisme tertentu yang sesuai adat. Selama ini, adat di Bumi Mataram menjunjung kepercayaan bahwa pemimpin, atau Sultan, adalah jabatan yang harus diemban keturunan laki-laki raja sebelumnya.

Polemik muncul karena raja berkuasa saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X, tidak memiliki anak laki-laki. Pembicaraan mengenai siapa penggantinya kelak pun kerap terjadi.

"Kelembagaan Keraton tidak ada hubungannya dengan putusan MK. Sampai saat ini tidak ada perubahaan karena Sultannya tetap sama," kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Bayu Dardias kepada CNNIndonesia.com, Selasa (5/9).
Syarat dan tata cara penetapan Sultan di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat terdapat pada aturan yang disebut paugeran. Hak mengubah paugeran dimiliki oleh Sultan petahana.

Hingga saat ini Sultan Hamengku Buwono X belum mengumumkan isi paugeran tersebut. Padahal, menurut Bayu substansi paugeran harus dibuka agar publik mengetahui syarat dan tata cara untuk penerus tahta di DIY.

"Menurut Sultan beliau bisa mengubah paugeran karena beliau Sultan, pimpinan tertinggi piramida kekuasaan. Menurut Adik-adiknya, beliau hanya sultan, seperti presiden yang menjalankan UUD. UUDnya itu paugeran yang tidak dapat diubah karena sudah digariskan leluhur," katanya.

Polemik Penerus Tahta di Kasultanan Ngayogyakarta HadiningratPutri pertama Sri Sultan HB X, GKR Mangkubumi berpeluang jadi Gubernur DIY berkat putusan MK atas salah satu pasal di UU Keistimewaan. (ANTARA FOTO/Regina Safri)
Posisi Sultan di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sejak dulu selalu menjadi hak keturunan laki-laki. Ketentuan itu juga tertulis pada setiap berkas perjanjian antara Kerajaan Mataram dengan Belanda.

Nasab Terhenti

Pemilihan laki-laki sebagai pemegang hak untuk menjadi Sultan mengadaptasi ajaran Islam. Menurut peneliti yang sedang menempuh pendidikan di Australia itu, jika pijakan peraturan ihwal gender itu diubah maka garis darah atau nasab Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat akan hilang.

"Jika diubah ke perempuan nasabnya akan terhenti di GKR (Gusti Kanjeng Ratu) Pembayun karena nanti Sultan selanjutnya berganti nasab ke Wironegoro. Ada inkonsistensi di diri keluarga Pembayun sendiri soal nasab. Dua anaknya bernama Artie Wironegoro dan Destra Wironegoro. Jadi sebenarnya, Pembayun sendiri mengakui garis nasab laki-laki," katanya menjelaskan.

Jika hal mendasar dalam paugeran diubah, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat juga dikhawatirkan tidak lagi menjadi pewaris budaya di Tanah Jawa. Sebab tak ada sistem alternatif yang ditawarkan dari perubahan tersebut.

"Ini setara dengan menghapus pemilu di negara demokrasi. Jelas akan semakin chaotic," tuturnya.
Dengan situasi tersebut, Bayu menilai hak atas tahta Sultan di DIY seharusnya tetap diwariskan ke laki-laki. Karena Sultan Hamengku Buwono X tidak memiliki penerus keturunan laki-laki, maka gelar dapat dialihkan ke salah satu adiknya.

Sultan berjenis kelamin laki-laki dianggap dapat dengan mudah diterima kehadirannya oleh masyarakat. Hal serupa tak dijamin akan tercipta seandainya penerus Sultan nanti merupakan perempuan, walau ia adalah anak kandung sang petahana.

"Zaman dulu, setiap penobatan putra mahkota selalu disambut gegap gempita sekarang tidak. Ini menandakan acceptance terhadap Sultan perempuan masih rendah," katanya.
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER