Jakarta, CNN Indonesia -- Kawasan Gunung Himalaya mengalami perubahan iklim yang ekstrim di tahun 2014. Kondisi ini memicu terjadi bencana, membahayakan pertanian, serta mengancam kehidupan para petani.
Menurut penelitian International Centre for Integrated Mountain Development tahun 2011, suhu Himalaya dilaporkan semakin meningkat sekitar 0,6 derajat Celcius per dasawarsa, terjadi antara tahun 1977 dan 2000.
Tahun 2014 dikabarkan menjadi tahun tragis bagi Nepal. Dari laporan CNN, bulan April lalu massa es yang menggantung telah runtuh dan jatuh melalui rute berbahaya di gunung Everest dan menewaskan 16 sherpa, kelompok etnis Nepal Timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian badai salju menyerang pegunungan Annapurna secara tiba-tiba. Peristiwa ini menelan korban jiwa sebanyak 43 orang yang terdiri dari penduduk lokal dan turis asing.
"Awal perjalanan saya, masih banyak salju dan es," ujar Apa Sherpa, mantan pendaki gunung asal Nepal yang pertama kali mencapai puncak Everest di tahun 1990.
"Sekarang bebatuan lebih sering dijumpai. Ini sangat bahaya. Gletser mencair, runtuhnya es, dan batu-batu juga turut jatuh," lanjutnya.
Sementara menurut penuturan Dawa Steven Sherpa yang juga seorang pendaki, semakin hari pegunungan Himalaya mengalami longsor yang lebih sering dan juga secara besar-besaran.
Bencana alam memang selalu terjadi, namun para ahli klimatologi mengatakan bahwa keadaan akan tambah memprihatinkan jika bencana area Himalaya menjadi sesuatu yang normal.
Ancam pertanian dan kehidupan petaniKekacauan yang terjadi di Himalaya diyakini bisa memengaruhi pertanian, tak terkecuali ketahanan air dan pangan di negara-negara Asia.
Area Himalaya terbentang dari ujung timur Afganistan melalui Nepal hingga ujung utara Myanmar. Bukan rahasia lagi bahwa pegunungan ini mengandung bongkahan salju dan gletser air tawar yang menjalar ke 10 sungai utama Asia, seperti Gangga, Brahmaputra, Mekong, dan Yangtze.
Sederhananya, Himalaya menyemai kehidupan untuk pertanian di sepanjang benua Asia.
Staf manajemen risiko program pengembangan PBB, Deepak K.C. mengatakan, perubahan iklim di area Himalaya sudah menimbulkan semburan kering, diselingi dengan hujan deras dalam waktu singkat yang bisa mengakibatkan banjir.
Di Nepal ada sebanyak 70 persen penduduk yang bermata pencaharian petani.
Petani setempat mengaku banyak hama yang sebelumnya tidak pernah ada kini menggerogoti hasil panen mereka. Sedangkan musim hujan yang biasanya turun di bulan Juni kini semakin tidak menentu.
"Kami bergantung pada curah hujan yang tepat waktu untuk budidaya panen," ujar seorang petani bernama Purnimaya Thamang yang tinggal di desa kecil di dekat kaki pegunungan Himalaya.
Masalah tersebut diakui sebagai penghambat hasil panen dan mereka akhirnya kelaparan.
Diketahui letak negara Nepal terhimpit oleh India dan Tiongkok, keduanya adalah penyumbang terbesar di dunia untuk emisi gas rumah kaca. Walau sifatnya eksternal, namun hal itu bisa dibilang sebagai masalah besar bagi Nepal di masa depan karena menerima dampak negatif emisi gas rumah kaca.
"Kami tidak menelan racun, namun kami tengah diracuni," ujar wakil pemimpin komisi perencanaan Nepal, Govind Raj Pokharel.
(adt)