Tsunami Raksasa Pernah Terjadi, Mungkinkah Berulang?

Deddy S | CNN Indonesia
Senin, 05 Okt 2015 05:30 WIB
Ilmuwan mendapati jejak ombak tsunami yang tingginya lebih dari 200 meter. Mungkinkah ombak berbahaya ini terjadi lagi di Bumi?
Ilustrasi (CNN Indonesia/Antara Photo/Iggoy el Fitra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kalau di dunia gunung api ada mega-volcano Gunung Toba yang meletus antara 69.000-77.000 ribu tahun lalu, di dunia ombak tsunami ternyata ada juga yang disebut dengan nama mega-tsunami. Kejadian ini diperkirakan terjadi sekitar 70.000 tahun lalu.

Mega-tsunami ini terlacak oleh para ahli di Pulau Cape Verde, di Afrika. Terjadinya diduga dipicu oleh runtuhnya gunung api di Pulau Fogo—sekitar 48 kilometer dari Cape Verde. Gunun ini memiliki tinggi 2.834 meter dan secara tiba-tiba runtuh sehingga menghasilkan gelombang tsunami setinggi 243,8 meter. 

Ketika gunung berapi runtuh, longsoran tanahnya bisa menyebabkan tsunami dengan tingkatan yang bermacam-macam. Pada penelitian sebelumnya, tercipta sebuah model gradual untuk keruntuhan gunung api, yang bisa menyebabkan terjadinya ombak yang lebih kecil.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi penemuan sejumlah batu besar sejauh 600 meter di daratan mengindikasikan sebaliknya. Penulis penelitian yang dipublikasikan di Science Advances itu, Ricardo Ramalho, ilmuwan dari Lamont-Doherty Earth Observatory di Columbia University, menyatakan bahwa bongkahan batu-batu besar itu terdiri dari bebatuan dari lautan, sementara daerah sekitarnya terdiri dari batuan vulkanik muda.

Batuan besar itu, kata Ramalho, sampai ke sana karena terjadinya sebuah gelombang yang amat besar. Mereka menghitung ketinggian gelombang berdasarkan hitungan bobot batu, yang beratnya mencapai beberapa ratus ton. “Kami sangat kaget dengan temuan itu,” kata Ramalho.

Mungkinkan Tsunami Dahsyat Itu Bakal Terjadi Lagi?

Ramalho segera mengingatkan bahwa meski mega-tsunami itu membahayakan, frekuensi terjadinya amat jarang.

“Ini adalah apa yang disebut oleh para ahli sebagai: kejadian yang frekuensinya sangat rendah tapi dampaknya sangat besar,” kata Ramalho. “Karena frekuensinya sangat rendah, kami memperhitungkan bahwa probabilitas terjadinya kembali adalah sangat kecil.”

Meski begitu, kata Ramalho lagi, bukan tak mungkin peristiwa seperti itu terjadi kembali. Oleh sebab itu, katanya, perlu timbul kesadaran masyarakat untuk lebih berhati-hati dan waspada.

Penelitian lebih lanjut, ujar Ramalho, perlu dilakukan. Terutama untuk mengetahui apa yang menyebabkan runtuhnya gunung berapi. Begitu juga peningkatan pengawasan untuk memberikan waktu bagi publik untuk mempersiapkan diri, sebelum gunung berapi runtuh. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER