Jakarta, CNN Indonesia -- Referendum Brexit yang diselenggarakan pada Kamis (23/6) di Inggris menghasilkan kemenangan bagi kubu yang memilih negaranya untuk keluar dari Uni Eropa (UE). Keputusan tersebut membuat para ilmuwan cemas.
Perhitungan sebagian besar suara yang masuk pada referendum UE untuk menentukan keanggotaan Inggris di UE menunjukkan bahwa mayoritas warga Inggris memilih keluar dari blok 28 negara itu.
Diketahui perhitungan suara dari 98 persen distrik seantero Britania Raya menghasilkan sebanyak 51,82 persen suara yang menyatakan "keluar", sedangkan 48,18 persennya menginginkan "tetap".
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah perdebatan dan kritik, komunitas penelitian di Inggris melihat Brexit sebagai ancaman serius terhadap pendanaan dan inovasi.
Mengutip situs
Technology Review, sebanyak 83 persen ilmuwan Inggris menentang referendum Brexit.
Terhitung sejak Maret lalu, sebanyak 159 anggota Royal Society di University of Cambridge menganggap gerakan Brexit sebagai "bencana bagi sektor sains Inggris".
Alasan utamanya adalah, Brexit diyakini bisa menyetop aktivitas migrasi ilmuwan muda secara bebas di kawasan Eropa.
Secara garis besar, perserikatan UE memberi dana dalam jumlah besar untuk penelitian ilmiah dan teknologi bagi para negara anggotanya. Tercatat anggaran yang dikeluarkan mencapai 74,8 miliar euro selama periode 2014 hingga 2020.
Ironisnya, para pendukung Brexit berpendapat, para penyumbang pajak di Inggris sebaiknya lebih berkontribusi untuk negaranya sendiri.
Padahal Inggris akan mengalami kerugian jika hal tersebut terjadi. Antara tahun 2007 dan 2013, Inggris menggelontorkan 5,4 miliar euro untuk anggaran penelitian Uni Eropa, dan mengantongi kembali 8,8 miliar euro dalam bentuk beasiswa.
Dana penelitian di UE sebagian besar berguna untuk mendorong integrasi di kawasan Eropa, terlebih kebanyakan program membutuhkan peran kolaborasi dengan negara anggota UE lain agar bisa mendapatkan beasiswa.
Komunitas ilmuwan di Inggris bergantung pada dana tersebut untuk penelitian publik. Maka, adanya pemotongan dana setelah Brexit dikhawatirkan bisa meruntuhkan bidang penelitian ilmiah di Inggris.
"Bukan hanya soal pendanaan," kata peneliti di bidang kesehatan Mike Galsworthy dari University College London.
Ia menyambung, "dukungan UE sudah menjadi katalisator bagi kolaborasi internasional."
Galsworthy sendiri baru saja meluncurkan kampanye di media sosial dengan tajuk
Scientists for EU.
Menanggapi hal ini, para pendukung Brexit bersikeras bahwa masyarakatnya tetap bisa melanjutkan partisipasi di penelitian kawasan Eropa, tanpa membawa embel-embel persetujuan asosiasi.
Di mata para komunitas ilmuwan, tanpa adanya asosiasi, para partisipan harus membayar sendiri agar bisa ikut serta di dalam proyek penelitian UE.
Sekadar diketahui, sebelumnya Perdana Menteri David Cameron sempat mendesak warga Inggris untuk memilih tetap berada di Uni Eropa, dan terus memperingatkan bahwa keluar dari Uni Eropa berisiko besar terhadap sektor perdagangan dan investasi, kemungkinan terjadi resesi, melemahkan pound sterling dan membuat harga bahan pokok dan biaya liburan menjadi lebih mahal.
Hasil suara dalam referendum Brexit tersebut menjadikan Inggris sebagai negara pertama yang keluar dari Uni Eropa.
Hampir 46,5 juta orang terdaftar mengikuti referendum tersebut, termasuk politisi pendukung Brexit telah menyuarakan kemenangan mereka, salah satunya pemimpin partai sayap kanan Inggris, UKIP, Nigel Farage.
(tyo)