Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Empat tahun lalu, pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bercita-cita menjadikan tahun 2016 sebagai awal PLTN Muria di Jawa Tengah beroperasi- sekaligus reaktor listrik komersial pertama di Indonesia.
Cita-cita itu gagal, oleh nasib yang sama dengan berbagai target pembangunan PLTN lain yang dicanangkan sebelumnya, mulai sejak Presiden Sukarno hingga Presiden Abdurrahman Wahid.
Dalam sebuah kesempatan tak resmi akhir Juni lalu di Jakarta, Menteri Ristek dan Dikti Mohamad Nasir mengatakan, membangun reaktor nuklir untuk listrik adalah pilihan paling ekonomis untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harga listrik dari nuklir sangat miring - di Korea Selatan harga listrik per 1kWh mencapai 13,8sen untuk pembangkit BBM, 6,2sen untuk pembangkit batubara dan hanya 3,9 sen untuk nuklir.
BPPT meramalkan dengan konsumsi energi yang tumbuh 5,7% per tahun, Indonesia akan berubah jadi net importir energi pada 2030 jika tak ada terobosan berarti dalam menciptakan sumber energi baru.
"Tapi nuklir ini baru disebut saja masyarakat sudah ketakutan.....Isunya dikendalikan LSM" keluh Pak Nasir sambil geleng-geleng kepala.
Ini bukan situasi yang hanya terjadi di Indonesia. Sejak lama organisasi non-pemerintah baik lokal maupun global sudah banyak terlibat dalam kampanye anti-nuklir. Sebut misalnya Walhi yang menyerukan sumber energi alternatif luar nuklir dan Greenpeace yang menjadi lokomotif penolakan pembangunan reaktor di banyak negara Eropa dan Asia.
Di Indonesia, penolakan terhadap instalasi listrik bertenaga nuklir antara lain merupakan buah dari kasus kebocoran reaktor yang antara lain terjadi di Chernobyl (1988) dan yang lebih mutakhir, Fukushima (2011).
Tahun lalu, untuk kali pertama dalam beberapa tahun terakhir, isu reaktor nuklir untuk pembangkit muncul kembali. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral berencana menerbitkan Buku Putih nuklir Indonesia untuk "menjelaskan kemajuan Indonesia dalam pemanfaatan teknologi nuklir”.
Seiring dengan rencana itu, sebuah survey yang dilakukan Badan Teknologi Nuklir Nasional (BATAN) melalui Sigma Research menunjukkan bahwa “lebih dari 72 persen dari empat ribu responden di 34 provinsi "menerima nuklir sebagai opsi penyediaan listrik nasional”.
Jika hasil survey ini benar, sikap pemerintah yang masih meragukan restu publik untuk PLTN seperti yang dinyatakan oleh Menristek, menarik untuk dilihat.
Selama puluhan tahun disiapkan, kebutuhan ahli teknologi nuklir untuk sebuah pembangkit listrik di Indonesia diklaim BATAN sudah lebih dari cukup. Dengan 100 lebih ahli setara doktor, 300 orang dengan tingkat pendidikan Strata 2 dan lebih banyak lagi di tingkat sarjana, kemampuan mengelola reaktor bukan masalah besar buat Indonesia.
Persoalan lokasi juga mestinya tak terus-menerus jadi masalah - bila PLTN Muria tak jadi diteruskan, Kementrian ESDM menyatakan sudah ada beberapa provinsi (di luar jawa) yang menawarkan wilayahnya sebagai lokasi PLTN pertama Indonesia.
Keputusan untuk menggunakan opsi nuklir sebagai pembangkit, disebut-sebut tinggal "menunggu sikap presiden".
Melihat besarnya minat pemerintahan Presiden Jokowi yang tinggi pada proyek infrastruktur, bisa jadi impian untuk memiliki pembangkit nuklir akan benar terwujud setelah disiapkan dalam lebih dari 50 tahun.
Presiden Jokowi mungkin akan mempertimbangkan ketertinggalan Indonesia di banding Vietnam atau Malaysia yang berencana mengoperasikan reaktor nuklir untuk listrik masing-masing pada 2020 dan 2030.
Tetapi mengambil keputusan dalam skala ini tanpa restu publik akan berisiko. Dalam komunitas yang demokratis keputusan memilih teknologi kontroversial seperti nuklir - seperti juga benih transgenik dan kloning bahkan vaksin - pasti akan menuai pro dan kontra.
Tak ada teknologi penghasil energi yang benar-benar bebas bahaya. Akan tetapi pilihan yang lebih banyak didorong oleh keputusan politik penguasa ketimbang pertimbangan rasional pemilih dapat berakibat pada kemurtadan sains (
science disbeliever).
Alih-alih dipaksa pemerintah, keputusan jadi/tidak membangun reaktor nuklir baiknya diambil oleh publik sendiri.
Asumsi bahwa keputusan terbaik diambil dengan menyerap informasi terbaik (
informed decision) menunjukkan bahwa peran pemberi informasi terbesar mestinya adalah para ilmuwan - dalam hal ini ilmuwan nuklir.
Apakah PLTN yang dibangun di luar Jawa akan lebih aman? Benarkah teknologi reaktor sudah jauh lebih maju dari saat Fukushima koyak oleh gempa dan tsunami lima tahun lalu? Adakah alternatif sumber energi lain dengan hasil bersaing dan risiko lebih kecil? Daftar pertanyaan bisa terus berkembang hingga publik bisa memutuskan.
Dalam alam media sosial yang dipenuhi ujaran kebencian dan berita
pseudo-science alias sains bohong-bohongan, keterlibatan ilmuwan sebagai juru terang ilmu pengetahuan akan sangat bermanfaat. Lepas dari putusan akhirnya nanti - ini saat yang tepat bagi publik kembali bicara nuklir.
(dlp)