Seorang bujangan berusia 31 tahun mendarat di kepulauan nusantara pada 1854. Laki-laki kulit putih itu datang jauh dari Kota Monmouthshire di Wales Inggris, dengan misi mencari tahu dan mengoleksi keragaman flora dan fauna di Asia Tenggara, yang saat itu baru secuil diketahui orang Eropa.
Tak ada yang menduga, perjalanan belasan ribu kilometer Alfred Russel Wallace ini kemudian menghasilkan salah satu kontribusi ilmu pengetahuan terpenting dari abad 19.
Perjalanannya mendefinisikan Garis Wallacea juga membuka mata dunia tentang keragaman hayati nusantara yang punya sumbangan luar biasa untuk sains saat ini.
“Perjalanan Wallace ke nusantara ini mengungkap banyak sekali kekayaan kita. Berbagai ciri geologis yang sangat unik, keanekaragaman hayati yang tidak tertandingi di wilayah lain, dan titik-titik biodiversity hotspots yang meminta perhatian kita,” kata Profesor Sangkot Marzuki, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), saat memberi sambutan pada pembukaan Pekan Wallacea, Senin (16/10) lalu di Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Potret Alfred Russel Wallace yang dipublikasikan di Borderland Magazine pada April 1896. (Dok. Wikimedia)
Wallace tidak punya latar belakang sebagai naturalist, atau penyuka hidupan alam dan kolektor flora fauna. Sewaktu muda, pendidikannya adalah bidang hukum. Namun karena ekonomi keluarga yang morat-marit, sejak muda ia sudah dipaksa bekerja keras.
Saat bekerja sebagai surveyor lahan, ia mulai banyak menghabiskan waktu di alam terbuka dan berkat pengaruh seorang kawan kemudian menjadi kolektor serangga yang tekun.
Charles Robert Darwin juga seorang kolektor serangga. Setelah pendidikan bidang kedokteran di Universitas Edinburgh gagal menarik minatnya, Darwin kemudian berlayar dengan HMS Beagle menuju Brazil, tahun 1831.
Koleksi spesimen serangga dan mahluk laut Darwin dikirim secara berkala ke Universitas Cambridge sementara laporan perjalanannya juga kerap diterbitkan.
Wallace mengunjungi Borneo (Kalimantan) selama total delapan bulan, dalam dua kali kunjungan.
Di sana, ia mengumpulkan lebih dari dua ribu jenis kumbang Borneo. [Ilustrasi: E. W. Robinson | The Malay Archipelago, Chapter 4]
Wallace sangat terkesan pada kisah perjalanan Darwin dan para penjelajah alam lain, serta bertekad untuk melakukan hal serupa. Ia kemudian berlayar ke Brazil pada 1848 (17 tahun setelah perjalanan Darwin), dan lalu ke Asia Tenggara.
Dari perjalanannya di Asia Tenggara, Wallace mengumpulkan lebih dari 100 ribu spesimen hewan yang ditemukannya. Sekitar 80 ribu di antaranya adalah aneka rupa kumbang.
Sebagai naturalis yang tekun, pencariannya banyak berujung pada penemuan satwa-satwa unik yang sebelumnya tak dikenal. Nama Wallace pun kemudian diabadikan pada satwa tersebut.
Kupu Ornithoptera Croesus. (Thinkstock/Feathercollector)
Misalnya saja kupu Ornithoptera Croesus yang sampai kini masih kerap disebut sebagai kupu sayap burung emas Wallace - dikoleksi di Pulau Bacan, Ternate.
Wallace menuangkan hasil penelitiannya di Asia Tenggara pada bukunya yang paling ternama, The Malay Archipelago. The land of the orang-utan, and the bird of paradise.
A narrative of travel, with sketches of man and nature (atau lazim disebut Malay Archipelago).
Dok. Wikimedia
Di buku itu, Wallace juga menjelaskan teorinya tentang sebuah kawasan biogeografis di timur nusantara yang sangat berbeda –- kemudian dinamai Wallacea. Tepatnya di Sulawesi, Nusa Tenggara, Ambon, Halmahera, Seram dan gugus kepulauan kecil di wilayah sekitarnya.
Ragam flora dan fauna di Wallacea juga punya ciri unik yang tidak dimiliki oleh mahluk hidup di wilayah lain di Indonesia, atau dunia.
Tidak seperti mahluk hidup sejenis di bagian barat Indonesia (dataran Sunda) yang lebih banyak dipengaruhi ciri Asia, atau di bagian timur (dataran Sahul)
Babirusa disebut Wallace tak punya kemiripan dengan hewan di belahan dunia lain dan hanya ditemukan di Sulawesi, Kep. Sula,
dan juga Pulau Buru – tempat terjauh habitat Babirusa di luar Sulawesi. [Ilustrasi: E. W. Robinson]
Temuan identitas hayati yang dicirikan oleh wilayah (biogeography) inilah yang membuat Wallace istimewa, terutama untuk Indonesia.“Meskipun sebelumnya sudah ada peneliti asing lain di nusantara, Wallace mengenalkan kekayaan biodiversity kita pada dunia.
Kekayaan dan keunikan ini menjadi sumber ilmu pengetahuan yang tak habis-habisnya dipelajari,” tambah Profesor Sangkot.
Direktur British Council di Indonesia, Paul Smith, mengatakan peran Wallace mengenalkan pentingnya wilayah nusantara pada kalangan naturalis Inggris pada era Victoria tak ubahnya seperti seorang duta dalam hubungan dua negara.
“Dia adalah duta sains untuk kedua negara. Perannya sangat penting dalam kemajuan sains dan hubungan Inggris-Indonesia,” puji Smith.
Infografis Perjalanan Hidup Alfred Wallace. (CNNINdonesia/Timothy Loen)
Dari nusantara, Wallace mengirimkan kembali lebih dari 100 ribu specimen awetan ke tanah kelahirannya, Inggris. Selama delapan tahun tinggal di Malaya yang kini merupakan bagian Indonesia, Malaysia dan Singapura, ia mengumpulkan serangga, kupu, reptil, burung, bunga dan buah.
Seluruh koleksi itu dipelihara dengan baik, dicatat ciri fisiknya, diawetkan dan kemudian dengan sejumlah imbalan menjadi koleksi berbagai musem sejarah alam (natural history) serta kolektor privat zaman Victoria.
Ribuan koleksinya sampai kini masih tersimpan baik di Natural History Museum London, Cambridge dan beberapa museum lain.
Sementara dari ketekunannya merekam dan mencatat, Wallace menghasilkan ribuan tulisan tentang koleksi dan laporan perjalanannya, termasuk bukunya yang paling ternama The Malay Archipelago. The land of the orang-utan, and the bird of paradise. A narrative of travel, with sketches of man and nature (terbit 1869).
Wallace menemukan katak terbang ketika mengunjungi Borneo. Spesies ini sangat menarik bagi para pecinta teori evolusi alam,
karena kaki katak menunjukkan adanya modifikasi sehingga bisa melompat dari satu pohon ke pohon.
[Ilustrasi: John Gerrard Keulemans | The Malay Archipelago, Chapter 4]
Masalahnya, hutan belantara yang 180-an tahun lalu dijelajahi Wallace, kini sudah jauh berubah wujud. Padahal hingga hari ini belum semua kekayaan hayati yang terkandung di dalamnya berhasil dipetakan ilmuwan.
“Karena itu wilayah ini menjadi biodiversity hotspot: wilayah biogeografi dengan kekayaan hayati yang terancam kepunahan,” jelas Sangkot Marzuki.
Bahkan karena besarnya cadangan kekayaan hayati, sebagian ilmuwan menyebut wilayah ini sebagai megadiversity hotspot. Namun untuk melestarikan wilayah Wallacea dengan metode yang tepat, diperlukan ilmu pengetahuan yang cukup tentang hidupan di dalamnya.
Studi tentang wilayah, sayangnya, belum cukup dilakukan.
“Kalau sampai punah sekali pun, kita tidak akan tahu apa saja yang hilang karena sampai kini kita belum pastikan apa saja kekayaan hayati di sana,” ujar Andre Schuiteman peneliti di Royal Botanic Gardens Kew di London dan pakar anggrek Asia Tenggara.
Wallace mengakui bahwa ia tidak menaruh banyak perhatian pada flora, kecuali yang berasal dari vegetasi Malaysia.
Tanaman seperti anggrek bukan hanya ditemukan di daerah Malaka, tapi juga Srilanka, Himalaya, dan pengunungan Khasia.
[Ilustrasi: Walter Hood Fitch | The Malay Archipelago, Chapter 8]
Meski studi Wallacea kebanyakan mengungkap fenomena tentang satwa, menurut Schuiteman fenomena yang sama tampak pada keragaman anggrek di kawasan ini.
Hal ini tampak dari studi anggrek yang membedakan ciri khas di wilayah Filipina, Papua, Kalimantan dan wilayah kepulauan Wallacea sendiri.
Sayangnya, tak cukup banyak studi untuk menyatakan dengan pasti sejauh mana sifat hayati anggrek wilayah ini berbeda dengan kelompok-kelompok lain.
Ia mendesak agar pemerintah Indonesia melakukan upaya serius untuk menjaga keselamatan wilayah ini dari kerusakan.
Ketika berada di Lubuk Raman (Lobo Raman), Sumatera Selatan, Wallace menemukan kupu-kupu unik.
Jantan dan betina punya perbedaan fisik mencolok sehingga bisa dikategorikan dua spesies berbeda. [Ilustrasi: E.W. Robinson | The Malay Archipelago, Chapter 8]
“Sulit menjaga kawasan yang besar dari berbagai ancaman kerusakan. Mungkin bisa dipilih satu kawasan yang lebih kecil saja sebagai fokus untuk penelitian dan studi yang benar-benar diteliti,” saran Schuiteman.
Masalahnya adalah pada habitatnya. Lapangan yang masih dilindungi mencapai 15% di Tataran Sunda, tapi di Wallacea tinggal sekitar 7,8%.”
Dalam salah satu penelitiannya Profesor Jatna Supriatna, pakar biologi konservasi dari Universitas Indonesia, menemukan bahwa wilayah Wallacea jauh lebih kaya ragam fauna dibandingkan wilayah tataran Sunda di bagian barat Indonesia. Keragaman itu ditemukan dalam jenis mamalia, reptilia, satwa amfibi dan unggas.
“Masalahnya adalah pada habitatnya. Lapangan yang masih dilindungi mencapai 15% di Tataran Sunda, tapi di Wallacea tinggal sekitar 7,8%,” kata Jatna saat menyampaikan paparannya tentang upaya meneliti kekayaan hayati kawasan Wallacea saat ini.
Hutan-hutan di Sulawesi menurutnya adalah ketiga yang paling banyak berubah fungsi di Indonesia.
Satu hal lagi menurut Jatna bahkan di hutan-hutan yang dinyatakan dilindungi pun, tak ada jaminan flora dan faunanya tak diganggu.
“Tidak mengherankan kalau banyak ahli meramalkan punahnya spesies kemungkinan akan muncul dari wilayah ini,” tambah Jatna seraya menunjukkan sejumlah karya tulis ilmuwan asing yang menduga kepunahan akan muncul dari Sulawesi.
Jatna sendiri adalah seorang peneliti Indonesia paling produktif untuk satwa wilayah ini termasuk dengan subyek primata, reptilia dan mamalia.
Videografis: CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi
Hampir 180 tahun setelah pengembaraannya ke nusantara, nama besar Wallacea meredup. Demikian pula di Inggris. Meski demikian menurut Paul Smith stok buku Malay Archipelago tidak pernah habis sejak mula-mula dicetak tahun 1869 di Inggris
“Memang tidak semua orang tahu siapa Wallace, tapi buku itu masih bisa dibeli di toko buku sampai sekarang. Yang saya pegang ini dari salah satu penerbit Inggris, yang mengelompokkan Malay Archipelago dalam kategori klasik,” tambah Smith sambil menunjukkan edisi buku Wallace bersampul oranye di tangannya yang dicetak oleh penerbit Penguin Books.
Di Indonesia sendiri –sayangnya—nama Wallace nyaris tak dikenal. Apalagi bukunya. Malay Archipelago baru diterjemahkan tahun 2009 dengan judul Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam, sekitar 140 tahun setelah cetakan awalnya.
Foto A.R. Wallace diambil di Singapura pada tahun 1862. (Dok. Wikipedia)
Dalam sesi tanya-jawab pada pembukaan Pekan Wallacea, seorang peserta yang mengaku bekerja untuk Badan Pengembangan dan Pemanfaatan Teknologi (BPPT) mengatakan “tak pernah mendengar tentang Wallacea”.
Gejala ini disayangkan oleh Sangkot Marzuki.
“Wallace meninggalkan warisan ilmu pengetahuan yang luar bisa. Ilmuwan-ilmuwan kita harus memanfaatkan keunggulan dengan kekayaan keanekaragaman hayati luar biasa di wilayah biogeography Wallace ini. Dan berbagai studi kelas dunia sudah dipublikasikan dari sini,” kata Sangkot menjelaskan.
Salah satu spesies yang menarik perhatian Wallace ketika mengunjungi Palembang, Sumatera Selatan, adalah burung Rangkong (Hornbill).
Spesies jantannya punya kebiasaan unik mencarikan makanan untuk betina yang sedang menetaskan telur. [Ilustrasi: T.W. Wood | The Malay Archipelago, Chapter 8]
Saat Alfred Russel Wallace meninggal dunia pada 1913, perjalanan bersejarahnya ke kawasan nusantara sudah berselang lebih dari setengah abad sebelumnya.
Perjalanan itu mewariskan kontribusi tentang teori seleksi alam yang disaksikannya terjadi di wilayah timur Nusantara, pada sekelompok pulau besar dan kecil yang diapit tataran Sunda di kawasan Indonesia barat dan tataran Sahul di kawasan timur.
Karena perjalanan itu, sebuah bentang bayangan (imaginary line) digambarkan memilah keragaman hayati Indonesia menjadi tiga bagian yakni bercorak Asia (termasuk Kalimantan dan Sumatera), Australasia (Papua) dan corak unik yang berbeda untuk wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, Ambon, Halmahera, Seram dan gugus kepulauan kecil di wilayah sekitarnya. Garis imajiner itu dinamai Garis Wallacea.
Dalam dua tahun terakhir pengembaraannya di Asia, Wallace tinggal di Ternate. Sejumlah film dokumentasi mengisahkan saat rebah dihajar demam malaria di Ternate itu lah, ia secara serius memikirkan peran mutasi genetis pada satwa yang banyak dikoleksinya.
Ia menyimpulkan perubahan-perubahan itu terjadi akibat desakan alam yang memaksa mahluk bertahan hidup. Mahluk yang mampu menyesuaikan diri akan punya kemampuan lebih bertahan hidup dan berkembang biang.
Dari Indonesia, pemikiran ini dikirimkannya pada Darwin. Lewat surat bertarikh 1858, Wallace minta pendapat soal cara terbaik mengungkapan pemikiran soal Seleksi Alam ini pada publik.
Wallace menemukan kupu-kupu Calliper ketika datang ke Pulau Jawa. Ia menyebut Jawa sebagai pulau tropis terbaik dan paling menarik di dunia.
Pulau yang sangat subur dengan pemandangan gunung dan hutan. [Ilustrasi: T.W. Wood | The Malay Archipelago, Chapter 5].
Darwin sangat galau membacanya. Pemikiran soal Seleksi Alam sudah digelutinya selama belasan tahun. Selama 20 tahun, Darwin pun melakukan riset mendalam tentang contoh-contoh perubahan fisiologis mahluk hidup.
Darwin yakin pada teorinya. Namun dia mengkhawatirkan tanggapan publik –terutama kalangan relijius era Victoria—pada bahasan tentang teori penciptaan yang jelas berbeda dengan ajaran Injil.
Datangnya surat Wallace membuat beban pikirannya bertambah: kini bahkan seorang yang terinspirasi jejak perjalanannya akan mendahului mempublikasikan teori Seleksi Alam.
“Akhirnya studi Wallace diterbitkan bersamaan dengan Darwin oleh The Linnean Society di London, pada Juli 158. Ini meneguhkan posisi Wallace sebagai co-creator teori Seleksi Alam yang menjadi dasar dari teori Evolusi,” kata sejarawan sains John van Wyhe.
Salah satu tujuan utama Wallace datang ke Borneo (Kalimantan) adalah melihat Orangutan – dipanggil “Mias” oleh penduduk lokal.
Satwa itu disebut tak memiliki musuh, tak pernah diserang hewan lain, dan punya kekuatan mengalahkan buaya. [Ilustrasi: Joseph Wolf | The Malay Archipelago, Chapter 4]
Kajian berjudul On the Tendencies of Species diterbitkan sebagai kerja dua ilmuwan besar abad 19: Darwin dan Wallace. Sponsor penulisannya adalah dua ilmuwan besar lain yang juga hidup di masa itu, Charles Lyell dan Joseph Hooker.
Lalu kenapa di kemudian hari peran Wallace seolah meredup dan Darwin meraksasa?
“Anggapan bahwa Darwin mengambil semua peran dalam teori Evolusi itu keliru. Dia tidak merampas hak ilmuwan manapun dengan teorinya – ingat dia sudah membangun tesisnya selama 20 tahun,” tambah Van Wyhe yang menjadi ahli sejarah sains di National University of Singapore.
Yang juga penting diingat, menurut Van Wyhe, yang berhasil meyakinkan dunia tentang Seleksi Alam adalah Darwin, bukan Wallace.
“Kalau pun sekarang dianggap besar dan jasanya penting, pada masa itu Wallace relatif tak dikenal. Karena itulah, bukan hasil studinya yang berhasil meninggalkan kesan kuat pada para ilmuwan dan dunia saat itu, tapi Darwin”, simpul Van Wyhe.
Setelah Malay Archipelago dicetak, toko buku sampai sekarang tidak pernah kehabisan stok. Itu membuktikan bahwa peminatnya memang tidak sebesar peminat studi Darwin.”
Salah satu buktinya, menurut Van Wyhe, tampak pada nasib buku masing-masing ilmuwan setelah buku mereka dicetak. Sehari setelah dicetak dan diedarkan di toko buku pada 1859, The Origin of Species by Means of Natural Selection (Sering ditulis Origin of Species) tulisan Darwin sudah habis saking larisnya. Itu tidak terjadi pada buku Wallace.
“Setelah Malay Archipelago dicetak, toko buku sampai sekarang tidak pernah kehabisan stok. Itu membuktikan bahwa peminatnya memang tidak sebesar peminat studi Darwin.”
Malay Archipelago sendiri diterbitkan tahun 1869, satu dekade setelah diterbitkannya Origin of Species.Dalam studinya tentang peran-peran ilmuwan yang membangun teori evolusi pada era Victoria, Van Wyhe menggarisbawahi anggapan bahwa sejak awal Wallace adalah pengagum Darwin. Wallace yang 12 tahun lebih muda memiliki latar belakang keluarga yang jauh lebih sederhana ketimbang Darwin yang berasal dari keluarga terhormat dan kaya.
Darwin membalas rasa hormat dan kekaguman itu dengan banyak membantu Wallace yang kerap mengalami masalah keuangan semasa hidupnya.
Setelah kembali dari pengembaraannya ke Asia, Wallace mendapat penghasilan dari tulisan, koleksi dan royalti buku dan studinya yang diterbitkan. Namun akibat beberapa investasi yang buruk, ia nyaris bangkrut. Darwin disebut-sebut kerap mencarikan pekerjaan yang sesuai agar Wallace tetap dapat hidup layak.
Dengan perbekalan seadanya, Wallace menghabiskan tiga bulan di Waigeo, Raja Ampat, Papua, untuk mencari Cenderawasih dan berbagai jenis burung lainnya.
Ia pulang dari Waigeo dengan membawa 73 spesies, 12 di antaranya benar-benar baru.
[Ilustrasi: John Gerrard Keulemans]
Dua pemikir besar abad 19 itu kemudian ‘bersatu kembali’ di Gedung Natural History Museum di London, Inggris. Darwin mendapat tempat istimewa di Museum sejarah alam terbesar di Inggris itu karena peran kolosalnya dalam membangun teori evolusi.
Di selasar utama (main hall) museum, sebuah patung marmer putih menggambarkan Darwin yang sedang duduk diresmikan tahun 2008 untuk mengenang jasanya pada ilmu pengetahuan. Di dinding sebelahnya, terdapat lukisan potret Wallace yang baru diresmikan tahun 2013.
Tetapi puluhan ribu koleksi Wallace sudah lebih dulu dipelihara oleh museum yang sama. Awetan burung dan serangganya sejak dari ekspedisi ke Brazil hingga Indonesia sudah lama menjadi bahan pameran di sana.
Seratus tahun setelah kematian Wallace, akhirnya tahun 2014 juga diresmikan sebuah patungnya di National History Museum – sosok laki-laki kurus bercelana panjang dengan ujung masuk dalam sepatu bot dan tangan kanan memegang tongkat berjaring penangkap kupu-kupu.
Sosok sang naturalis, Alfred Russel Wallace.
Penulis: Dewi Safitri | Editor: Vetriciawizach Simbolon | Naskah Infografis: Vetriciawizach Simbolon
Infografis: Timothy Loen, Fajrian | Videografis: Asfahan Yahsyi | Tata letak: Fajrian