Proyek sains data yang digagas sejumlah ahli telah mengungkapkan bahwa jumlah kematian akibat Covid-19 hampir tiga kali lebih banyak daripada penghitungan pemerintah Indonesia.
Sebagian besar ahli mengatakan kurangnya pengetesan membuat 139.000 kasus positif dan sekitar 6.944 kematian akibat Covid-19 per 25 Agustus 2020 adalah perkiraan yang sangat rendah meski Indonesia memiliki jumlah infeksi tertinggi kedua dan jumlah kematian tertinggi di Asia Tenggara.
Proyek sains data warga menggunakan platform sumber terbuka yang memungkinkan orang melaporkan dugaan kematian akibat Covid-19 melalui WhatsApp dan Telegram.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan laporan yang diterima, para ahli menghitung bahwa jumlah kematian sebenarnya terkait Covid-19, termasuk kasus yang dicurigai setidaknya mencapai 16.000 jiwa pada 14 Agustus 2020. Berbeda sangat jauh, data resmi pemerintah pada hari yang sama hanya mencatat 6.021 kematian.
Konsultan dan peneliti kesehatan, Irma Handayani mengatakan masih banyak wilayah di negara itu yang jumlah kematiannya tidak dimasukkan dalam data resmi pemerintah.
Jika angka-angka itu dimasukkan, dia menyebut jumlah kematian resmi akan menjadi 2,5 hingga 4,2 kali lebih tinggi dari angka yang diperlihatkan pemerintah saat ini.
"Jadi dari awal, kami percaya bahwa pelaporan yang tidak dilaporkan ini harus diungkap karena itulah yang sebenarnya menunjukkan besarnya pandemi. Data tersebut mencerminkan situasi aktual di lapangan. Tidak ada data yang disembunyikan dan tidak ada data yang dimanipulasi," ujar Hidayana kepada The Telegraph, dikutip Kamis (27/8).
Laporan angka Covid-19 diklaim juga termasuk kasus dugaan yang dilaporkan oleh pemerintah daerah. Hidayana mengatakan jumlah kasus yang dicurigai tidak diakui oleh pemerintah dan tidak ditambahkan ke angka kematian terkait Covid secara nasional.
"Mereka [pemerintah] tidak mau transparan," ujarnya.
Melansir Bloomberg, Hidayana salah satu pendiri LaporCovid-19 mengaku prihatin tentang bagaimana pemerintah menangani wabah tersebut. Dia menyebut pemerintah tidak mematuhi pedoman WHO yang mewajibkan pencantuman kematian di antara orang diduga terinfeksi virus.
"Kami tidak sepenuhnya mempercayai angka-angka yang diberikan oleh pemerintah," ujar Hidayana.
Para ahli menyampaikan skala kasus dan kematian sebenarnya dari pandemi kemungkinan jauh lebih tinggi daripada angka resmi, mengingat beragam definisi untuk mendiagnosis infeksi dan kekurangan alat tes. Terlebih di negara berkembang seperti Indonesia, di mana infrastruktur perawatan kesehatan yang lemah dan kurangnya dana membuat kesulitan negara untuk menguji.
Indonesia menjadi salah satu tingkat pengujian virus terendah di dunia, bahkan di bawah Senegal dan Sri Lanka. Tantangan geografis, serta kurangnya personel diagnostik dan laboratorium terlatih juga menghambat upaya untuk meningkatkan tingkat pengujian.
Meningkatnya jumlah profesional kesehatan yang menyerah dalam menangani pasien dan rumah sakit yang kewalahan akibat staf yang kekurangan alat pelindung telah menambah gambaran bahwa krisis di Indonesia lebih besar daripada yang ditunjukkan angka resmi.
Sementara itu Epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman merespons dengan menyebutkan fenomena itu sudah bisa diprediksi karena sistem pelaporan korban Covid-19 belum maksimal di sejumlah negara termasuk Indonesia.
"Ini fenomena yang terjadi di hampir semua negara berkembang di dunia. Karena sistem pelaporan yang memang belum optimal dan angka kematian Covid-19 ini merupakan akibat dari beragam faktor, antara lain belum memadainya deteksi dini, dan pelacakan kasus kontak selain ada faktor demografi dan faktor risiko lainnya (Komorbid)," ujar Dicky.
(jps/mik)