Ahli soal Waktu Antibodi Penyintas Covid-19: Perlu Dipelajari

CNN Indonesia
Kamis, 25 Mar 2021 09:38 WIB
Perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan berapa lama antibodi pada penyintas Covid-19 mampu bertahan. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo menyatakan perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan berapa lama antibodi yang membentuk kekebalan pada penyintas Covid-19 mampu bertahan.

"Terkait Covid-19 masih banyak yang perlu dipelajari, terkait berapa lama antibodi bertahan memang tentu perlu diukur dan juga dikorelasikan dengan persentase kejadian Covid yang kembali menimpa subyek yang sudah membentuk antibodi tersebut," ujar Ahmad kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/3).

Menurut Ahmad antibodi bukan satu-satunya yang perlu diukur. Diperlukan juga mengukur aktivitas T sel sebagai kekebalan seluler yang memang lebih rumit dan memerlukan dana tidak sedikit dalam penelitiannya.

Di satu sisi, Ahmad mengaku sejumlah ahli dalam bidang ini masih belum tahu persis faktor apa yang membuat antibodi lama bertahan melindungi tubuh dari serangan virus corona.

Pelajaran dari SARS 2002, mereka memiliki antibodi hingga 2 tahun. Lama waktu bertahan antibodi itu dinilai selaras dengan fakta bahwa semua pasien SARS itu bergejala berat, tidak ada OTG.

"Sedangkan Covid itu lebih rumit dari SARS, karena tidak semua yang terinfeksi bergejala, dan sejauh ini mantan pasien yang bergejala berat, titer antibodinya lebih awet daripada para OTG atau pasien gejala ringan," ujarnya.

Sebelumnya, penelitian terbaru menemukan bahwa sekitar 40 persen pasien positif Covid-19 di Wuhan, China memiliki antibodi yang melindungi dari reinfeksi atau infeksi ulang selama setidaknya 9 bulan.

Menurut penelitian yang diterbitkan di jurnal medis The Lancet tersebut, tingkat kemunculan kasus positif Covid-19 di kota yang paling parah terkena virus awal tahun lalu hanya 6,9 persen, menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil penduduk kota Wuhan yang terinfeksi setelah wabah epidemi.

Peneliti menguji antibodi Covid-19 pada lebih dari 9.500 penduduk yang tinggal di 13 distrik setelah lockdown dicabut pada awal April 2020. Tes sampel darah lanjutan juga dilakukan pada Juni serta antara Oktober dan Desember untuk memeriksa apakah antibodi itu ada.

Studi baru itu menunjukkan bahwa kemungkinan hal ini disebabkan oleh fakta sebagian besar orang yang tidak menunjukkan gejala atau tidak dites karena gejala infeksi mereka yang ringan.

Selain itu, kadar antibodi pada pasien asimtomatik (tanpa gejala) ditemukan lebih rendah daripada pasien yang dikonfirmasi dan kasus bergejala dalam penelitian ini.

(jps/mik)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK