Pencemaran paracetamol seperti yang terjadi di Teluk Angke dan Ancol, Jakarta Utara berbahaya bagi kehidupan ikan dan satwa liar di sekitarnya.
Seperti dilansir situs Harvard, sejumlah penelitian menunjukkan bahan kimia seperti obat memiliki efek feminisasi pada ikan jantan dan dapat mengubah rasio betina-jantan.
"Ada cukup banyak bukti obat-obatan di dalam air yang mempengaruhi kehidupan air, terutama ikan," demikian isi laporan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebuah studi juga melaporkan ikan di hulu dan hilir dari instalasi pengolahan air limbah lebih banyak ikan betina dan interseks hilir dari tanaman. Hal ini diperkirakan terjadi karena kadar estrogen yang lebih tinggi di air hilir.
Penelitian lain telah menemukan obat antidepresan yang terkonsentrasi di jaringan otak ikan di hilir dari pabrik pengolahan air limbah laut.
Berbeda dengan dampak yang terjadi pada ikan, bahaya laut yang tercemar paracetamol terhadap manusia tidak diketahui secara pasti.
Berdasarkan hasil sebuah studi pada 2007 dari satu pabrik air minum yang mengolah air laut, ditemukan metode pengobatan konvensional mengurangi konsentrasi beberapa obat penting dan membuat kandungan air jauh di bawah kategori yang bisa memiliki bahaya pada manusia.
"Tes mereka menemukan antidepresan, antipsikotik, antibiotik, beta blocker, dan obat penenang, meskipun hanya dalam jumlah sedikit dan jauh di bawah tingkat yang diperkirakan memiliki efek pada manusia," kata laporan itu.
"Ada kemungkinan bahwa ada efek kumulatif pada orang-orang bahkan dari sejumlah kecil obat-obatan ini dan obat-obatan lainnya dalam air minum, tetapi ini belum terbukti. Dan mungkin populasi rentan," sambung laporan itu.
Lihat Juga : |
Untuk diketahui, Teluk Angke dan Ancol yang ada di wilayah Jakarta Utara dilaporkan tercemar paracetamol dengan konsentrasi tinggi.
Hal ini disebut dalam sebuah studi berjudul 'Konsentrasi Tinggi paracetamol di Wilayah Perairan Teluk Jakarta, Indonesia' yang ditulis peneliti Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wulan Koagouw, dan beberapa peneliti lain.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>