Neeraj Arora, mantan bos WhatsApp, mengaku menyesal menjual platformnya ke Facebook. Ia menilai platform pesan instan itu berubah, bahkan tak lagi sesuai dengan misi yang dibicarakan saat negosiasi.
"FB dan manajemen mereka setuju dan kami pikir mereka percaya pada misi kami. Namun, WhatsApp tampak berubah pada 2017 dan 2018," ujarnya dalam sebuah cuitan pada Kamis (5/5).
WhatsApp resmi diakusisi Facebook pada 2014 senilai US$22 miliar atau sekitar Rp273,68 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada 2014, saya Kepala Eksekutif WhatsApp dan saya membantu negosiasi penjualan senilai US$22 miliar [atau Rp273,68 triliun] ke Facebook. Hari ini, saya menyesalinya," tutur Arora.
Platform pesan instan ini didirikan Jan Koum dan Brian Acton pada 2009. Arora sendiri baru bergabung dengan perusahaan itu pada 2011.
Lalu, pada 2012 atau 2013, pendiri Facebook Mark Zuckerberg berupaya mendekati WhatsApp dan menyampaikan keinginan mengakuisisi perusahaan pesan instan tersebut.
"Kami menolak dan memutuskan untuk tetap memantau perkembangan (WhatsApp)," terang Arora.
Namun, upaya Zuckerberg tak berhenti setelah mendapat penolakan. Pada 2014, ia kembali mendekati WhatsApp dengan berbagai tawaran kerja sama.
Beberapa tawaran Mark Zuckerberg saat itu, di antaranya mendukung penuh end to end encryption, tak ada iklan, independensi penuh atas produk, serta kursi dewan untuk salah satu pendiri WhatsApp, Jan Koum.
Dalam ceritanya Arora juga menyinggung soal WhatsApp di masa-masa awal, yang ia sebut mampu menghubungkan kerabat di berbagai dunia.
"Anda ingat apa yang membuat produk ini istimewa: Komunikasi internasional. Untuk orang-orang (seperti saya) dengan keluarga di banyak negara, WhatsApp adalah cara untuk tetap terhubung-tanpa membayar SMS jarak jauh atau biaya panggilan," katanya.
Saat ia memimpin WhatsApp, perusahaan ini menghasilkan uang dengan menagih pengguna US$1 ketika mengunduh aplikasi. Facebook mengklaim mendukung misi dan visi WhatsApp.
Kemudian Arora juga mengugah foto yang berisi catatan pendiri WhatsApp, Brian Acton. "Tak ada iklan, tak ada gim, tak ada gimik," tulis Acton dalam catatannya.
Ketika bernegosiasi soal akuisisi, WhatsApp menegaskan pihaknya menolak penambangan data pengguna, tidak ada iklan, dan tidak ada pelacakan lintas platform.
Facebook tampak setuju dengan misi tersebut, tetapi beberapa tahun kemudian WhatsApp tampak berubah.
Pada 2018, tepat saat detail skandal Facebook/Cambridge Analytica muncul ke publik, Brian Acton melontarkan cuitan yang mengguncang media sosial, "saatnya #menghapusfacebook."
Lebih lanjut, WhatsApp merupakan platform terbesar kedua Facebook, bahkan lebih besar dari Instagram atau FB Messenger.
Arora menyebut platform tersebut adalah produk yang ia dan timnya ingin kembangkan untuk dunia. "Dan saya bukan satu-satunya yang menyesal, (WhatsApp) telah menjadi bagian dari Facebook ketika itu terjadi," imbuh Arora.
Dalam utasnya, Arora mengatakan perusahaan teknologi harus mengakui ketika melakukan kesalahan. Tidak ada yang tahu awalnya Facebook akan menjadi monster Frankenstein yang melahap data pengguna dan mengeluarkan uang kotor.
(lom/bir)