DPR Sindir Podcaster, Ingin KPI Awasi YouTube dkk via RUU Penyiaran
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) digadang-gadang bisa mendapatkan kewenangan memantau media digital melalui revisi Undang-undang Penyiaran di DPR. Ini tak lepas dari kebebasan yang diklaim 100 persen tanpa sensor di dunia maya.
"Di dalam RUU Penyiaran yang sedang digodok, mudah-mudahanan tahun ini bisa digodok, mudah-mudahan kalau RUU PDP (Perlindungan Data Pribadi) selesai, ini bisa [digarap]," ujar Anggota Komisi I DPR Sukamta, dalam acara diskusi di ajang Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 bertajuk 'Mewujudkan Media Komunikasi dan Penyiaran yang Berbasis Etika, Moral dan Kemanusiaan menuju Peradaban Baru', di Yogyakarta (24/5).
"Kita beri ruang kepada KPI sangat banyak, diberikan penguatan dan kewenangan sangat besar, termasuk aturan, sanksi sangat besar," lanjutnya.
Sukamta menyebut hal itu tak lepas dari kebebasan penyiaran di dunia digital tanpa sensor.
"Media-media digital yang lain dibiarkan diberikan ruang yang kebebasannya mutlak 100 persen gitu lho, enggak ada yang mengendalikan, enggak ada yang memonitor, bablas aja semua diberikan ke hati nurani masing-masing," cetus politikus PKS ini.
Dia mencontohkannya dengan kasus konten YouTube yang menghadirkan pasangan gay yang menuai polemik hebat.
"Misalnya, pasangan LGBT diberikan ruang oleh seorang podcaster. Ini kan memprihatinkan. Ini aktivitas, OK kalau memang hak asasi lakukan di ruang privat, diam-diam, engak usah tampil di publik," ujar Sukamta.
Baginya, konten semacam ini bisa berdampak negatif terutama terhadap anak-anak yang banyak jadi konsumen media digital.
"Penyiaran membentuk peradaban bangsa. Anak-anak hari ini lebih banyak belajar dari media penyiaran ketimbang gurunya, baik guru sekolah maupun guru ngaji. Kalau isinya tidak dikendalikan, akan jd apa masa depan anak-anak ini? Membahayakan nilai-nilai Pancasila dan filosofinya" cetus dia.
Sementara, UU Penyiaran saat ini belum bisa menaungi media digital. Kategori "media lain" pada Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran pun, kata Sukamta, belum bisa menjangkau media digital terutama karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi yang dimohonkan RCTI, 2021.
Pada kesempatan yang sama, Komisioner KPI bidang kelembagaan Hardly Stefano mengatakan penggunaan internet jauh lebih tinggi ketimbang televisi konvensional.
Mengutip data yang dirilis We Are Social, KEPIOS, yang dirilis pada Februari 2022, pengguna internet RI mencapai 204,7 juta pengguna atau 73,7 persen populasi. Rata-rata penggunaan internet pun mencapai 8 jam 36 menit per orang per hari. Di sisi lain, durasi rata-rata orang menonton televisi hanya 2 jam 50 menit per hari.
"Dari data ini, bapak ibu, menunjukkan waktu yang digunakan oleh orang Indonesia untuk berselancar di internet 2,5 kali lebih banyak dari waktu yang digunakan untuk menonton televisi," tuturnya.
Ia pun mengakui "teknologi digital dan jaringan internet menghadirkan demokratisasi informasi, karena siapa saja bisa mendapatkan, bisa membuat, dan bisa menyebarkan informasi tentang apa saja."
"Namun demokrasi informasi itu juga membawa ekses negatif dengan banyaknya bertebaran hoaks, ujaran kebencian yang mengarah pada segregasi sosial, juga banyak konten hedonistik, ada flexing, bahkan penipuan," urai dia.
"Dengan kebebasan berekspresi beberapa konten internet memiliki kecenderungan mengabaikan norma dan kearifan lokal," lanjut Hardly.
Konferensi Penyiaran Indonesia 2022, yang difasilitasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, ini merupakan konferensi ketiga, setelah sebelumnya pada tahun 2019 dilaksanakan oleh Universitas Andalas di Padang, dan tahun 2021 dilaksanakan Universitas Hassanuddin di Makassar.
(tim/arh)