Bagaimana Jika Keamanan Siber Dipangkas? Pakar Ungkap 3 Skenario Chaos
Perangkat keamanan siber, di ponsel pribadi maupun jaringan perusahaan dan pemerintah, memakai porsi besar anggaran tiap unit atau per tahunnya. Bagaimana jika itu dihilangkan saja demi menghemat biaya?
Direktur Global Research & Analysis Team (GReAT) untuk Asia Pasifik (APAC) di Kaspersky Vitaly Kamluk, saat bicara via konferensi video di ajang Kaspersky Asia Pacific Cyber Security Weekend, Phuket, Thailand, Kamis (25/8), mengungkapkan belanja untuk sektor keamanan siber memang terus naik.
Rinciannya, belanja sektor ini menghabiskan US262,4 (Rp3.882,6 triliun) miliar pada 2021; diproyeksikan naik menjadi US$301,8 miliar pada akhir 2022; US$4347 miliar di 2023, US$399 miliar pada 2024, dan US$458,9 miliar di 2025.
Sebagai perbandingan, proyeksi belanja keamanan dunia maya pada 2025 ini akan menyaingi pendapatan domestik bruto (PDB/GDP) Thailand yang mencapai US$520 miliar.
Jika ditotal dalam rentang 2021-2025 saja, belanja sektor keamanan siber mencapai US$1,75 triliun (Rp25.893,6 triliun). Mahal betul kan?
Kamluk pun tak menutup peluang dunia menihilkan sektor keamanan siber. Masalahnya, siap tidak manusia dengan konsekuensinya.
"Apakah mungkin dunia tanpa keamanan siber? Ya. Tapi, apakah Anda siap untuk hidup di dunia semacam itu?" cetus dia.
Apa saja akibatnya?
1. Tanpa enkripsi, tanpa privasi, tanpa kerahasiaan
Menghapus industri pertahanan dunia maya membuka pintu lebar bagi para penjahat siber untuk mengeksploitasi data pengguna, mulai dari informasi keuangan, masalah kesehatan, rencana perjalanan, hingga daftar belanja Anda. Mau?
2. Tidak ada kontrol akses
Ketiadaan keamanan siber membuka bencana terkait akses. Efeknya, belanja palsu, karena setiap orang dapat mengklaim identitas seseorang untuk membeli dan bahkan mentransfer uang.
Tanpa kontrol akses, kata Kamluk, bahkan pemilu dan survei yang digelar lewat sistem elektronik dapat dicurangi demi kepentingan pihak tertentu.
"Tidak ada yang akan memiliki akun online pribadi, tidak akan ada privasi," ucapnya.
3. Tidak ada validasi integritas
Jika keamanan siber dipangkas, setiap orang bisa saja membuat berita palsu. Hoaks pun mencapai tahap yang tak terperikan. Anda tidak dapat mempercayai teknologi apa pun yang Anda gunakan, informasi apa pun yang Anda baca.
"Pada dasarnya, apa pun bisa dipalsukan di dunia yang tanpa keamanan siber. Mau percaya siapa?" ujar Kamluk.
Dengan keamanan siber yang kian meningkat belanjanya saja, Kamluk mengatakan para pakar keamanan sudah mendeteksi dan memblokir 7,2 miliar serangan siber, termasuk malware dan konten web berbahaya, pada periode Juli 2021 hingga Agustus 2022 saja.
Menurutnya, Asia Pasifik menjadi kawasan yang rentan. Satu dari setiap tiga (35 persen) serangan berbahaya yang terdeteksi oleh Kaspersky menargetkan pengguna dari wilayah tersebut. India, Jepang, Vietnam, China, dan Indonesia adalah lima negara teratas dalam hal jumlah serangan.
Alhasil, kata dia, dunia tanpa keamanan siber bak "distopia digital" alias kondisi dunia yang penuh kekacauan tanpa aturan (chaos).
"Saat ini, keamanan siber seringkali menjadi bagian tak terlihat dari kehidupan kita yang kita anggap remeh, tetapi kita berhutang hampir semua yang telah kita capai sebagai sebuah peradaban," urainya.
Pada ajang yang sama, Alejandro Arango, Global PR Director Kaspersky, mengatakan dunia tanpa keamanan siber murah tapi bahayanya amat besar.
"Memang lebih murah ketimbang dunia dengan keamanan siber. Tapi siapkah Anda dengan akibatnya itu?" tandas dia.
(arh)