PT Kereta Api Indonesia (KAI) sedang mengujicoba fitur pengenalan wajah (face recognition) di pintu keberangkatan Stasiun Bandung. Meski sepintas menyingkat waktu pengecekan, fitur ini memilki sejumlah masalah.
Dikutip situs resmi KAI, VP Public Relations KAI Joni Martinus mengungkapkan, KAI mengujicobakan fasilitas Face Recognition Boarding Gate di Stasiun Bandung dalam rangka memastikan dan menyempurnakan layanan inovatif terbaru tersebut.
"Cukup 1 detik waktu yang dibutuhkan untuk memastikan wajah pelanggan dan proses verifikasi seluruh data yang tersimpan di sistem KAI. Hal tersebut akan sangat mempermudah pelanggan dan memperlancar antrean proses boarding," kata Joni.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan cara konvensional, penumpang harus dicek oleh petugas dengan cara memeriksa dokumen seperti boarding pass fisik, e-boarding pass, KTP atau dokumen vaksinasi. Namun dengan fitur face recognition, petugas hanya perlu memastikan wajah pelanggan.
Meski terbilang efisien, fitur face recogintion ternyata tak luput dari masalah. Berikut daftarnya.
Penggunaan fitur face recognition rawan salah identifikasi. Kesalahan itu pernah terjadi antara lain di kasus pemukulan pegiat media sosial, Ade Armando pada Senin (11/4) di depan Gedung DPR RI.
Lewat teknologi face recognition, polisi mengidentifikasi enam orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka, yakni Komarudin, Muhamad Bagja, Dhia Ul Haq, Abdul Latip, Abdul Manaf, serta Ade Purnama.
Belakangan, polisi mengaku keliru menetapkan status tersangka kepada salah satunya Abdul Manaf lantaran keterbatasan teknologi. Sementara, fotonya sudah keburu beredar di media sosial lewat akun-akun diduga buzzer dan menjadi sasaran perundungan warganet.
"Sebetulnya enggak boleh kita, sekali lagi, kalau kita pakai mesin enggak boleh semata-mata bergantung pada mesin. Kita mesti check and recheck lagi," kata Pakar Ilmu Komputer Universitas Padjadjaran (Unpad), Setiawan Hadi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (14/4).
Keamanan data pada fitur face recognition juga terbilang rentan. Pasalnya, hampir tidak ada transparansi data wajah pelanggan terkait penggunaannya.
Kasus ini pernah terjadi pada perusahaan ID.me yang berbasis di Amerika Serikat. Perusahaan penyedia face recognition itu diperiksa terkait masalah privasi dan keamanan pada April lalu.
Penyelidikan itu dilakukan oleh dua anggota parlemen, yakni Ketua Komite Pengawas DPR AS Carolyn B. Maloney dan Ketua Sub-Komite untuk krisis Virus Corona James E Clyburn.
ID.me sendiri menyediakan face recognition untuk memverifikasi identitas di banyak lembaga di negara bagian dan federal. Perusahaan mengklaim memiliki 81 juta pengguna dan lebih dari 145 ribu pengguna baru setiap hari.
Face recognition juga rawan karena bisa digunakan untuk tindakan spionase. Para demonstran gerakan pro-demokrasi di Hongkong misalnya, yang sangat memperhatikan masalah perlindungan wajah.
Pasalnya, China memakai teknologi face recognition untuk mengawasi dan menangkap orang-orang yang dicurigai. Orang-orang tersebut pun rata-rata tidak mengetahui mereka sedang dilacak.
Masalah privasi juga tak kalah penting pada fitur face recognition. Penyematan fitur itu pada kamera keamanan toko contohnya, yang bisa merekam wajah para pelanggan saat masuk.
Kamera bisa menggunakan wajah pengunjung untuk database lain sehingga toko dapat memasarkan produk kepada pengunjung dan membangun profil perilaku yang menghubungkan aktivitas di dalam toko dengan aktivitas online pengunjung tersebut.
(lth/lth)