Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menyebut revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lebih baik dilakukan secara menyeluruh dibandingkan hanya beberapa pasal saja.
"DPR harusnya bisa melihat bahwa usulan dari Kominfo adalah usulan yang sudah tidak tepat lagi untuk dibicarakan, dan harusnya menggunakan kesempatan ini untuk melakukan revisi total atau revisi menyeluruh tentang keberadaan UU ITE, alih-alih Komisi 1 hanya berpegang pada usulan yang ada dalam rancangan perubahan yang kedua dari Kominfo," ujar Damar kepada CNNIndonesia.com lewat pesan suara, Rabu (22/2).
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengusulkan tujuh materi rancangan untuk revisi kedua UU ITE. Menkominfo Johnny G. Plate menyatakan usulan itu ditujukan agar dapat menjawab kebutuhan pelaksanaan yang ada serta merespons dinamika masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"UU ITE kemudian diusulkan untuk direvisi kembali untuk pengaturan yang lebih baik, karena itu Pemerintah mengusulkan Rancangan Perubahan Kedua UU ITE bersama naskah akademis yang telah Bapak Presiden sampaikan kepada Ketua DPR RI pada 16 Desember 2021 lalu," kata Johnny dalam sebuah keterangan, Senin (13/2) seperti dikutip dari situs resmi Kominfo.
Johnny menyatakan dalam Rancangan Perubahan Kedua UU ITE, pemerintah telah memperhatikan upaya peningkatan penataan dan pengaturan informasi dan transaksi elektronik. Setidaknya ada tujuh materi perubahan yang diusulkan, antara lain:
1. Perubahan terhadap ketentuan ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) dari Pasal 27 mengenai kesusilaan, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pemerasan dan/atau pengancaman dengan merujuk pada ketentuan KUHP;
2. Perubahan ketentuan Pasal 28 sehingga hanya mengatur ketentuan mengenai berita bohong atau informasi yang menyesatkan yang menyebabkan kerugian materiil konsumen;
3. Penambahan ketentuan Pasal 28A diantara Pasal 28 dan Pasal 29 mengenai konten suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dan pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat;
4. Perubahan ketentuan penjelasan Pasal 29 mengenai perundungan (cyber bullying);
5. Perubahan ketentuan Pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain;
6. Perubahan ketentuan Pasal 45 terkait ancaman pidana penjara dan denda serta menambah pengaturan mengenai pengecualian pengenaan ketentuan pidana atas penyalahgunaan pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 27 ayat (1); dan
7. Perubahan ketentuan pasal 45A terkait pidana atas pemberitahuan bohong dan informasi menyesatkan yang menimbulkan keonaran di masyarakat.
Selain melakukan revisi, Johnny juga menyebut UU ITE perlu mengalami harmonisasi dengan UU KUHP yang telah disahkan. Pasalnya, ada beberapa ketentuan pada UU ITE yang tidak lagi berlaku usai UU KUHP disahkan. Ketentuan tersebut yaitu:
1. Ketentuan pasal 27 ayat 1 mengenai kesusilaan dan ayat 3 mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik.
2. Ketentuan pasal 28 ayat 2 mengenai ujaran kebencian berdasarkan SARA.
3. Ketentuan pasal 30 mengenai akses ilegal.
4. Ketentuan pasal 31 mengenai intersepsi atau penyadapan.
5. Ketentuan pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain
6. Ketentuan pasal 45 ayat 1 ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 27 ayat 1 terkait kesusilaan dan ayat 3 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 27 ayat 3 terkait penghinaan dan pencemaran nama baik.
7. Ketentuan pasal 45 ayat 2 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 28 ayat 2 ujaran kebencian berdasarkan SARA.
8. Ketentuan pasal 46 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 30 terkait akses ilegal.
9. Ketentuan pasal 47 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 31 terkait intersepsi atau penyadapan, dan
10. Ketentuan pasal 51 ayat 2 mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 36 terkait pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Lebih lanjut, Damar juga menyebut pemerintah perlu bijak dalam menangani UU ITE, terlebih tahun politik sudah mendekat.
"Menjelang tahun politik, saya rasa pemerintah harus cukup bijak untuk bisa memilah mana yang kemudian akan dilakukan mengenai revisi UU ITE," katanya.
Terkait revisi UU ITE, Damar menyarankan pemerintah untuk menjadikan momen ini sebagai ruang untuk "meminta pendapat akademisi, masyarakat sipil, para pelaku industri untuk bisa menyempurnakan UU ITE." Menurutnya, hal ini bukan perkara sulit.
"Masyarakat sipil misalnya sudah menyiapkan daftar inventaris masalah terhadap rancangan dari perubahan kedua usulan dari Kominfo, sekaligus juga melakukan sebuah penilaian dan perbaikan dari keberadaan UU ITE yang lama," tuturnya.
"Akademisi universitas yang lain juga sudah menyiapkan hal yang sama. Jadi, bukan menjadi alasan misalnya kalau kemudian dikatakan bahwa revisi ini hanya dilakukan untuk pasal-pasal terbatas tadi," tambahnya.
Damar menuturkan bahwa perubahan signifikan diperlukan saat ini bukan cuma pada pasal-pasal karet, tetapi " bagaimana UU ITE yang nantinya akan disahkan menjadi UU yang lebih membangun ekosistem digital, menyelamatkan demokrasi, menjaga kualitas demokrasi dan kebebasan berpendapat."
Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani mengatakan Komisi I DPR RI akan memulai pembahasan terkait revisi UU ITE dalam waktu dekat. Ia menjelaskan komisi I selanjutnya akan membentuk panitia kerja (panja) bersama dengan pemerintah.
Christina juga menyebut tidak menutup kemungkinan pembahasan revisi ini akan berkembang ke luar pasal-pasal yang diajukan.
"Jadi tidak hanya pasal-pasal yang diajukan pemerintah tapi mungkin pasal-pasal lain yang dirasakan masih perlu untuk ditelusuri atau dilihat lagi oleh panja sesuai dengan aspirasi atau masukan-masukan yang selama ini kami terima," katanya pada Senin (13/2), seperti dikutip dari situs DPR.
"Jadi ketika kita membahas undang-undang ITE, ada baiknya kita juga melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang memang perlu untuk diharmonisasi. Apalagi, tadi ada KUHP dan lain-lain ya kan agar undang-undang ini nanti perubahan ini benar-benar bisa menjawab sesuai dengan tujuan diundangkannya undang-undang ITE dan tidak menimbulkan permasalahan multitafsir seperti yang dulu ada," tambahnya.
(lom/lth)