Badai Pasir Tak Sekadar Debu, Bisa Picu Perubahan Iklim
Badai pasir yang umum terjadi di daerah gurun ternyata berpengaruh terhadap perubahan iklim. Simak penjelasannya di sini.
Melansir situs United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD), badai pasir dan debu (Sand and Dust Storms, SDS) ternyata meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun belakangan karena perubahan iklim dan degradasi lahan.
Peningkatan tersebut berdampak kepada kehidupan yang berjarak ribuan kilometer dari badai pasir dan debu itu berasal. Pasalnya, badai tersebut dapat merusak tanaman pangan, mematikan ternak dan humus.
Selain itu, badai juga bisa menyebabkan debu atmosfer dan endapan debu permukaan di area yang jauh. Hal tersebut mempengaruhi kesehatan manusia serta mengganggu transportasi, rantai pasokan, dan jaringan listrik.
"Adanya perhatian lebih terhadap SDS benar-benar krusial dan penting. Hari ini adalah soal memahami bahwa SDS merupakan fenomena global yang berdampak kepada ekonomi, kesehatan dan lingkungan, bukan hanya di daerah kering," kata Wakil Sekretaris Eksekutif UNCCD, Andrea Murillo.
"SDS bisa berdampak langsung terhadap degradasi lahan dan bisa dicegah lewat manajemen lahan yang berkesinambungan dan pencapaian netralitas degradasi lahan," katanya menambahkan.
Melansir CNN, PBB mengestimasi 2 ribu juta ton pasir dan debu dihasilkan ke atmosfer per tahun. Dampak badai pasir terhadap perubahan iklim pun telah terjadi.
Hal itu antara lain bisa dilihat dari peristiwa 'Godzilla' yakni sebuah badai pasir terbesar yang pernah terjadi dalam 20 tahun terakhir, yang melintasi Samudera Atlantik pada Juni 2020.
Badai tersebut menyebabkan langit gelap di Karibia dan negara bagian Texas, Amerika Serikat.
Di sisi lain, dampak ekonomi karena badai pasir juga telah dirasakan di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Di sana, dampak ekonomi diperkirakan mencapai US$13 miliar per tahun.
Sebetulnya, badai pasir dan debu tidak selalu berdampak negatif. Badai di Gurun Sahara misalnya, bisa membawa nutrisi bagi tanaman dan hutan di Amazon yang tanahnya kurang nutrisi.
"Ekosistem sebetulnya bersandar kepada debu aerosol," kata ilmuwan iklim Khalifa University di Abu Dhabi, Diana Francis.
Namun, jika badai pasir dan debu itu terjadi lebih sering, ia bisa menyebabkan perubahan pada pola badai dan distribusi mineral di Bumi sehingga mengurangi hujan.
Alat Baru NASA
Di sisi lain Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) diketahui tengah mengerjaka n pembuatan instrumen baru bernama EMIT (Earth Surface Mineral Dust Source Investigation). Nantinya, instrumen itu akan digunakan untuk mengamati dan melacak badai pasir dan debu di seluruh dunia.
Alat ini bakal memetakan badai pasir dan debu lewat warna. Pasalnya, setiap badai pasir dan debu punya ciri khas terkait caranya merefleksikan cahaya.
Contohnya, debu berwarna putih merefleksikan radiasi matahari atau panas, sementara debu merah dan gelap menyerapnya. "EMIT akan merevolusi apa yangkita lakukan. Kita bisa menggunakan datanya untuk lebih mengerti dampak badai pasir dan debu," kata Ilmuwan Iklim, Natali Mahowald.
(can/lth)