Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyiapkan tempat penyimpanan akhir atau disposal limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang di Indonesia.
"Limbah radioaktif ini perlu mendapat perhatian khusus. Jangan sampai kita menyiapkan fasilitas baik itu fasilitas reaktor, fasilitas radiofarmaka, tetapi terlambat penyiapan fasilitas pengelolaan limbahnya," kata Kepala Pusat Riset Teknologi Daur Bahan Bakar Nuklir dan Limbah Radioaktif BRIN, Syaiful Bakhri, Senin (20/4) dikutip dari Antara.
BRIN menyatakan pemanfaatan teknologi nuklir di berbagai bidang dapat menghasilkan limbah radioaktif dalam rentang radioaktivitas yang beragam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengelolaan dan penyimpanan limbah radioaktif, katanya, harus memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, dan garda aman serta perizinan yang menyertainya.
Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN Rohadi Awaludin mengatakan Indonesia perlu menyiapkan diri dalam hal limbah seiring dengan pemanfaatan nuklir yang semakin luas.
"Diperlukan kesiapan dalam mengelola limbah radioaktif di Tanah Air untuk mendukung pemanfaatan nuklir bagi kesejahteraan di berbagai bidang," kata Rohadi.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Teknologi Daur Bahan Bakar Nuklir dan Limbah Radioaktif BRIN Budi Setiawan menjelaskan limbah radioaktif di Indonesia dapat berasal dari kegiatan litbang, rumah sakit, dan industri serta operasi reaktor riset.
Limbah itu diolah dalam fasilitas pengolahan, evaporasi, kompaksi insinerasi dan chemical treatment. Setelah dilakukan sementasi, limbah tersebut disimpan dahulu dalam fasilitas internal storage sebelum dikirim ke fasilitas disposal jika fasilitas telah ada.
Dia menyebut fasilitas penyimpanan disposal sebagai bagian akhir dari pengelolaan limbah radioaktif nantinya akan mengisolasi limbah. Alhasil, tidak terjadi paparan radiasi terhadap manusia dan lingkungan.
"Dalam menyiapkan fasilitas disposal perlu dipersiapkan tiga komponen yaitu limbah, site dan desain," kata Budi.
Tahapan pencarian lokasi dilakukan dengan menentukan kriteria penolak dan kriteria pembanding untuk menentukan tapak atau wilayah potensial. Kriteria penolak terdiri dari unsur teknis dan non teknis, yaitu aspek geologi dan non-geologi.
Kemudian, dilakukan evaluasi secara geoteknik untuk mengetahui susunan atau lapisan di bawah permukaan dari lokasi calon tapak disposal. Setelah tapak terpilih berhasil diperoleh, maka dilakukan tahap kegiatan desain.
Sebelum melakukan kegiatan desain konstruksi disposal, ia menyatakan perlu pengkajian aspek keselamatannya dengan bantuan software.
Budi menerangkan bahwa hasil yang diperoleh tersebut kemudian diinterpretasikan dan dibandingkan dengan kriteria dari Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).
Yakni, tentang peraturan nilai batas dosis dari radioaktivitas lingkungan yang diizinkan oleh Bapeten agar fasilitas disposal yang diusulkan aman terhadap lingkungan.
Adapun lokus atau lokasi kegiatan yang pernah dilakukan adalah di Kepulauan Maslembu, semenanjung Muria (sekitar Demak, Jawa Tengah), Kepulauan Bangka Belitung, dan SP-4 Kawasan Nuklir Serpong, Tangerang Selatan.
Meski demikian, terdapat empat tantangan penyiapan fasilitas disposal radioaktif tingkat rendah dan sedang di Indonesia. Yakni, kegiatan non-PLTN, aspek non-teknis, pengelolaan limbah TENORM, serta aging dan gap pengetahuan antar peneliti.
TENORM sendiri, berdasarkan Peraturan Kepala BAPETEN No. 9 Tahun 2009, merupakan zat radioaktif alam yang dikarenakan kegiatan manusia atau proses teknologi terjadi peningkatan paparan potensial jika dibandingkan dengan keadaan awal.
(antara/arh)