Sejumlah peneliti bidang perikanan menilai penambangan sedimen laut alias pasir laut bakal mengganggu habitat ikan dilindungi seperti pari manta dan hiu berjalan.
Kandidat doktor di Institut Ilmu Kelautan Universitas Auckland, Selandia Baru, Edy Setiawan mengatakan pengerukan pasir akan membuat pari manta (Manta birostris) sulit mencari makanan.
Sebab, ikan ini kerap mencari plankton di dasar laut, baik itu di bagian pasir maupun di sela-sela terumbu karang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pari manta sangat bergantung terhadap terumbu karang. Makanan juga bisa kesulitan karena mereka mencari makanan juga di dasar laut. kalau pasir laut," kata dia dalam webinar dalam rangka Hari Laut Sedunia bertema 'Tides are changing: Inovasi Teknologi dalam Pelestarian Hiu dan Pari', Kamis (8/6).
Ia menjelaskan pengerukan sedimen laut itu juga mengganggu cleaning station bagi manta. Ini merupakan kebiasaan manta untuk membersihkan diri dari parasit.
Cleaning station merupakan tempat manta untuk mendapatkan pemeriksaan kebersihan rutin. Biasanya manta menghabiskan beberapa jam sehari untuk membersihkan insang, gigi dan kulit.
Edy menjelaskan manta merupakan jenis biota laut yang terancam punah di Indonesia. Manta mendapat perlindungan penuh berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta.
Di acara yang sama, Manager Konservasi Indonesia Iqbal Herwata menjelaskan pengerukan pasir laut juga berisiko mengganggu habitat ikan hiu berjalan (Hemiscyllium halmahera).
Ia menjelaskan habitat hiu berjalan banyak tersebar di wilayah Indonesia Timur. Dari sembilan spesies yang tersebar di Indonesia, enam di antaranya tersebar di bagian Timur dan menjadi spesies endemik.
Jika pengerukan pasir laut dilakukan di sana, maka potensi mengganggu habitat hiu berjalan terbilang besar, apalagi dilakukan di perairan dangkal kurang dari 20 meter.
"Pengerukan sedimen di perairan tentunya tergantung di wilayahnya. Kalau di Indonesia timur tentunya berdampak terhadap wilayah hiu berjalan, apalagi 0-20 meter," ujarnya.
Menurutnya, habitat hiu berjalan berada pada lokasi laut dangkal yang dekat dengan habitat penduduk. Terlebih perubahan iklim juga menjadi pengaruh besar terhadap hiu berjalan.
"Hiu berjalan memiliki keterancaman tentang perusakan habitat karena habitatnya di laut dangkal dekat dengan manusia, sedimentasi, penangkapan secara lokal dan ada juga perubahan iklim yang berdampak merusak," tuturnya.
Indonesia merupakan rumah dari enam spesies hiu bumbu ini. Sebarannya berada di wilayah perairan Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku utara.
Sejak 2020 spesies ikan yang berukuran kurang dari 100 sentimeter ini masuk Daftar Merah dari Dewan Konservasi Alam Internasional (IUCN) karena rentan punah.
Lihat Juga :101 SCIENCE Apa Benar Bumi Semakin Panas? |
Sebelumnya, ekspor laut direstui lewat Peraturan Pemerintah nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pasal 6 aturan tersebut memberi ruang kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan dalih mengendalikan hasil sedimentasi di laut.
Kendati demikian aturan tersebut mengundang kerisauan para pakar kebumian lantaran potensi dampak lingkungan dan ekonomi akibat pengerukan pasir laut.
Ahli Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas mengungkapkan penambangan pasir laut akan memusnahkan keseluruhan satwa dan tumbuhan yang ada di area eksplorasi.
"Biota di sekitar situ pasti terganggu. Sama kaya di darat, misalnya, batu kapur ditambang jadi semen, ya di situ [biota] bisa musnah," tutur Heri kepada CNNIndonesia.com pada Mei.
(can/arh)