Kemarau Belum Puncak, Beberapa Wilayah Jawa Tengah Mulai Kekeringan
Beberapa wilayah di Jawa Tengah (Jateng) sudah dilanda kekeringan hingga mengalami krisis air bersih meski belum puncak musim kemarau.
"Kekeringan mulai melanda sebagian wilayah di Jawa Tengah," dikutip dari siaran pers Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat (23/6), "beberapa kabupaten sudah mulai melaporkan adanya krisis air bersih."
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan 51 persen wilayah Indonesia sudah masuk musim kemarau.
Lihat Juga : |
BNPB melanjutkan laporan pertama soal krisis kekeringan dan air bersih muncul dari warga Desa Kendalsari, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten. Bahwa, 4.360 warga mulai kesulitan mendapatkan air bersih.
BPBD Kabupaten Klaten pun telah mendistribusikan air bersih menggunakan mobil tanki hingga 30.000 liter.
Laporan kedua kekeringan melanda wilayah Desa Bulurejo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Sebanyak 234 warga kesulitan air bersih. BPBD Kabupaten Magelang telah mengirim pasokan air bersih hingga 10.000 liter.
Kekeringan selanjutnya juga dirasakan oleh 1.460 warga Kelurahan Jabung, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang. BPBD Kota Semarang telah mengirimkan air bersih hingga 10.000 liter.
BNPB juga menyebut 150 warga Desa Pojok, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan mulai merasakan kelangkaan air bersih. BPBD Kabupaten Grobogan pun mendistribusikan air bersih hingga 10.000 liter.
BMKG Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang juga mencatat sebagian besar wilayah Jateng memiliki peluang curah hujan yang sangat rendah. Prakirannnya, kurang dari 90 persen atau di bawah 50 mm hingga dasarian 3 Juli.
"Sebagai upaya antisipasi dalam menghadapi potensi bencana kekeringan selama musim kemarau, dihimbau kepada masyarakat agar dapat menghemat dan mengelola penggunaan air dengan baik," kata Abdul Muhari, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB.
"Di samping itu, warga juga diharapkan dapat melalukan perbaikan lingkungan dengan menanam pohon, membangun atau merehabilitasi jaringan irigasi, melakukan perlindungan kepada sumber air bersih yang tersedia dan panen hujan serta konservasi air," tambah dia.
Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mewanti-wanti datangnya kemarau kering akibat pengaruh fenomena iklim di samudra yakni El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD).
Dua fenomena ini memicu penurunan curah hujan. Tidak hanya itu, ada pula potensi peningkatan jumlah titik api dan meningkatkan kerawanan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Di sisi lain, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani menambahkan puncak kemarau bakal terjadi dua hingga tiga bulan lagi.
"Secara umum Puncak Musim Kemarau 2023 di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksikan terjadi pada periode Juli-Agustus, dengan wilayah zona musim paling banyak terjadi pada bulan Agustus," tuturnya, Jumat (16/6).
(lth/arh)