Sebelum 2015, warga Desa Muara Siran, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, lebih banyak mencari nafkah sebagai nelayan. Ketika musim kemarau, masalah besar muncul.
Sungai-sungai kecil dan danaunya mengering. Mereka mencari ikan dengan cara membakar rumput-rumput kering di sekitar perairan itu. Metode tersebut memang terbukti bisa membuat ikan berkumpul di satu tempat.
"Namun berbahaya, karena terkadang nelayan lupa untuk memastikan api benar-benar sudah padam," ucap Sekretaris Desa Muara Siran Mutawi, ditemui CNNIndonesia.com di desanya, Jumat (28/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Efeknya jelas, kebakaran lahan gambut yang mengelilingi wilayah itu.
Semuanya berubah usai 2015. Sejumlah warga mulai membangun bangunan dari kayu untuk sarang walet. Hingga saat ini, jumlah sarang walet yang terbangun di sekitar desa hingga lahan gambut diklaim mencapai 500 sarang.
"Dari semuanya, sekitar 100 sarang burung yang punya penghasilan cukup tinggi. Sebagian besar dijual ke Jawa," terang Mutawi.
Pendirian sarang-sarang walet itu berefek baik lantaran mampu mereduksi potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama lahan gambut, di Muara Siran.
Bencana itu biasanya mengancam pada Juni hingga Agustus tiap tahun.
Kata Mutawi, usaha sarang walet itu membuat warga paham bahwa burung walet amat tergantung dengan ekosistem gambut dan hutan di sekitarnya. Makanan walet seperti serangga banyak berkembang biak di lahan gambut.
"Jika ekosistem tersebut rusak, tentu akan berpotensi mengurangi hasil panen sarang walet warga. Karenanya hutan gambut harus dijaga baik. Termasuk dari potensi karhutla," tutur dia.
Dikutip dari keterangan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), gambut punya manfaat yang penting, termasuk kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah banyak.
Lihat Juga : |
Gambut mampu menampung hingga 30 persen jumlah karbon dunia agar tidak terlepas ke atmosfer. Maknanya, lahan ini bermanfaat besar dalam mencegah perubahan iklim dan pemanasan global.
Salah satu pemicu utama pemanasan global atas pelepasan atau emisi karbon (CO2) ke atmosfer. Hal itu akan memicu efek rumah kaca yang memerangkap panas Matahari di Bumi dan tak terlepas ke angkasa. Ujungnya, Bumi makin panas.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia memiliki ekosistem gambut terbesar nomor empat dunia dengan luas lebih dari 24 juta hektare.
Lahan-lahan itu tersebar di sejumlah provinsi di Indonesia, termasuk di Kaltim yang punya luas 342.350 ha.
Masalahnya, lahan-lahan di Kalimantan terancam karhutla tiap tahunnya. Studi LSM Pantau Gambut mengungkap 1,2 juta dari 4,3 juta hektare hutan gambut di Kalimantan Tengah berpotensi terbakar.
Sementara, di sekitar Kaltim, termasuk area seputar Ibu Kota Nusantara (IKN), luas tanah yang berpotensi karhutla ada sekira 119 ribu hektare dari total 342 ribu lahan gambut.
Selain itu, Kalimantan Utara ada sekitar 89 ribu hektare lahan gambut berisiko tinggi kebakaran, dari total lahan gambut yang tersedia 351 ribu hektare. Kalimantan Barat punya 408 ribu hektare lahan gambut berisiko tinggi karhutla dari total 2,7 juta hektare.
Desa Muara Siran, yang ada di tepi dengan Danau Siran, berjarak sekitar 4 jam perjalanan dari Samarinda, Kaltim. Itu pun mesti berganti moda transportasi mulai dari jalur darat hingga kapal kecil.
Kawasan yang ada di Kecamatan Muara Kaman ini berbentuk hamparan datar. Sebagian besar wilayahnya terendam air. Dari luas total 42.201 hektare, sekitar 80 persen-nya berupa hutan rawa atau gambut yang dialiri sungai-sungai kecil. Jalan darat belum tersedia di desa ini.
Ketua Yayasan Biosfer Manusia (Bioma) Akhmad Wijaya menerangkan desa ini menjadi salah satu wilayah basis gambut di Kaltim.
![]() |
"Berdasarkan data, Kaltim punya 342 ribu hektare lebih lahan gambut. Dari jumlah itu, 72 persennya berada di Kukar. Salah satunya di Desa Muara Siran," terang Jaya, sapaan karibnya.
Pihaknya pun dalam beberapa tahun terakhir mengaku aktif untuk mendorong warga menjaga kawasan gambut.
Skema yang ditawarkan mutualisme; seperti di Muara Siran, Bioma membantu pendanaan membangun sarang walet. Sebagai gantinya, masyarakat diharuskan menanam pohon di sekitar sarang walet.
"Adanya budidaya sarang burung walet membuat masyarakat jauh lebih peduli terhadap ekosistem gambut. Dengan demikian potensi efek gas rumah kaca juga berkurang," terang Jaya.
Mutawi menimpali pola mutualisme juga didapat dari program Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)-Carbon Fund. Bila sesuai rencana, tahun ini Desa Muara Siran akan menerima kucuran dana insentif sebesar Rp152 juta dari Bank Dunia.
"Bank Dunia sudah ke sini beberapa waktu lalu meninjau lokasi gambut. Maka dari itu kami mendorong dan membantu warga membangun sarang walet sebagai pilar penjaga lahan gambut," ucap dia.
(rio/arh)