Masih Butuh Kajian, Kominfo Tak Buru-buru Bikin Regulasi Soal AI
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tak buru-buru membuat aturan yang melarang penggunaan kecerdasan buatan (AI) generatif seperti yang dilakukan beberapa negara.
"Yang kita cermati sekarang sebetulnya banyak segi, di antaranya pemanfaatan AI untuk ekonomi misalnya, lalu kemudian untuk mempercepat penyebaran informasi yang positif. Lalu juga kita melihat AI untuk kepentingan industri dan semacamnya. Jadi cukup luas," ujar Wamenkominfo Nezar Patria di acara IIXS 2023 di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Kamis (10/8).
"Jadi kita coba petakan semuanya. Regulasi yang selama ini ditakuti seakan-akan akan membatasi perkembangan AI, saya kira kita belum sampai ke sana bicaranya," imbuhnya.
Sejumlah negara seperti China tengah merancang regulasi yang secara khusus mengatur pengembangan dan pemanfaatan AI di negaranya.
Tak hanya di China, pemerintah dan pihak berwenang lainnya juga tengah berlomba untuk membuat undang-undang yang membatasi potensi penyalahgunaan teknologi ini.
Uni Eropa misalnya, telah mengusulkan beberapa peraturan yang memicu protes dari perusahaan dan eksekutif di wilayah tersebut, sementara AS telah mendiskusikan langkah-langkah untuk mengendalikan AI. Sedangkan, Inggris saat ini telah melakukan sebuah tinjauan pada teknologi AI.
Nezar menyebut Indonesia masih bersama barisan negara yang "juga ikut mencermati AI ini untuk melihat, mengkaji, dan mendorong kemajuan-kemajuan positifnya pasti dari AI, terutama bagaimana dia bisa mempercepat ataupun melakukan akselerasi ekosistem digital di Indonesia."
Namun, Nezar juga menyebut pihaknya tengah memetakan masalah yang mungkin muncul sebagai imbas pemanfaatan teknologi baru, mulai dari hoaks dan ketidakakuratan informasi yang nantinya diserap masyarakat.
"Jadi kecenderungan-kecenderungan seperti itu coba kita petakan, termasuk juga bagaimana penggunaan data, privasi, dan juga bias di dalam penggunaan AI, khususnya generasi AI yang menggunakan Large Language Model," tuturnya.
"Jadi kita enggak buru-buru melarang ini melarang itu, enggak. Kita coba cermati dulu perkembangannya, kita dorong aspek positifnya, kita coba mitigasi risiko-risiko negatif yang muncul dari perkembangan AI," pungkasnya.
Jadi sorotan Paus Fransiskus hingga PBB
Potensi bahaya penggunaan AI sebelumnya juga sempat disorot Paus Fransiskus. Ia mewanti-wanti soal dampak berbahaya penggunaan AI. Ia meminta pengembang bertanggung jawab saat menggunakan maupun mengembangkan teknologi AI.
Dalam sebuah pernyataan pada Selasa (8/8), Fransiskus menyinggung bias ancaman algoritmik dalam teknologi AI dan meminta masyarakat mewaspadai agar logika kekerasan dan diskriminasi tidak mengakar dalam produksi AI.
Terlebih, penggunaan perangkat AI dianggap bisa mengorbankan individu yang paling rapuh sehingga bisa tersisih.
Fransiskus menyoroti "kemungkinan mengganggu dan efek ambivalen" dan mendesak perusahaan teknologi yang akan mengembangkan atau menggunakan AI, untuk melakukannya secara bertanggung jawab.
"Ketidakadilan dan ketidaksetaraan memicu konflik dan permusuhan," kata Fransiskus.
Kegusaran terhadap AI juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) António Guterres. Menurutnya, penyalahgunaan AI bisa menghasilkan penyebaran misinformasi atau hoaks hingga senjata nuklir.
Guterres mengatakan jika AI menjadi senjata utama untuk melancarkan serangan siber, membuat deepfake, atau untuk menyebarkan disinformasi dan ujaran kebencian, maka kehadiran teknologi ini menghasilkan konsekuensi yang sangat serius bagi perdamaian dan keamanan global.
"Tidak perlu jauh-jauh dari media sosial. Alat dan platform yang dirancang untuk meningkatkan hubungan antar manusia kini digunakan untuk merusak pemilihan umum, menyebarkan teori konspirasi, dan menghasut kebencian dan kekerasan," kata Guterres dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB di Inggris beberapa waktu lalu.
Guterres juga mencatat perdebatan mengenai tata kelola AI, perlu pendekatan universal serta menggarisbawahi pengalaman serupa di masa lalu, yang menawarkan penyelesaian di bawah kepemimpinan PBB.