Jakarta, CNN Indonesia --
Bill Gates, miliarder dan pemilik raksasa teknologi Microsoft, memiliki pandangan berbeda soal krisis iklim saat ini. Menurut dia Bumi "baik-baik saja" dan banyak orang terlalu membesar-besarkan masalah iklim.
"Ada banyak hal yang dibesar-besarkan tentang iklim. Iklim bukanlah akhir dari planet ini. Jadi planet ini akan baik-baik saja," kata dia, di Plaza Hotel, Selasa (19/9), dikutip dari AP.
Gates yang bukan ilmuwan iklim itu mengatakan dunia tidak akan mampu mencapai target yang telah disepakati untuk membatasi pemanasan di masa depan hingga 1,5 derajat Celcius di atas suhu pra-industri, namun juga tidak akan mencapai angka 3 derajat Celcius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasannya, kata dia, sejak 2015 hingga tahun lalu dunia telah melakukan pesta inovasi "raksasa" dalam upaya yang dapat membantu mengekang perubahan iklim.
Mengutip AP, Gates mempromosikan pemenang dari tahun lalu yang mencoba menggunakan sumber daya seperti batu untuk menyimpan karbon dioksida yang disedot dari atmosfer dengan aman, mempercepat proses alami hingga 100 ribu kali lipat.
Jika perusahaan tersebut dapat menurunkan harga penyimpanan karbon dioksida hingga 50 dolar per ton, maka perusahaan tersebut akan "membawa alat tambahan yang dapat mengurangi kenaikan suhu."
Beda dari pakar dan PBB
Pandangan Gates ini berbeda dari orang-orang yang selama ini meneliti mengenai perubahan iklim di Bumi. Bahkan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menyatakan bahwa saat ini Bumi sedang tidak baik-baik saja akibat krisis iklim.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam sebuah kesempatan mengatakan saat ini dunia malah berada pada masa pendidihan global, bukan lagi pemanasan global.
Ia mewanti-wanti "era pemanasan global telah berakhir" dan era pendidihan global telah tiba.
"Perubahan iklim sudah ada di sini. Itu menakutkan. Dan ini baru permulaan. Masih mungkin membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius, dan menghindari perubahan iklim yang buruk. Tapi hanya dengan aksi iklim yang dramatis dan langsung," kata Guterres.
Pernyataan Guterres muncul setelah para ilmuwan mengkonfirmasi bahwa bulan Juli 2023 menjadi bulan terpanas dalam sejarah. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan program pengamatan Bumi Copernicus Eropa, temperatur global bulan Juli telah memecahkan rekor.
Fenomena ini dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil sehingga memacu cuaca buruk.
Ilmuwan dari WMO dan Layanan Perubahan Iklim Copernicus Komisi Eropa menggambarkan kondisi bulan ini sebagai "insiden luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya".
"Kami dapat mengatakan bahwa tiga minggu pertama bulan Juli adalah periode tiga minggu terhangat yang pernah diamati dalam catatan kami," kata Carlo Buentempo, Direktur Layanan Perubahan Iklim Coperniucs.
 Foto: CNN Indonesia/Agder Maulana 9 Bukti Pemanasan Global itu Nyata |
Pandangan pakar soal faktor istilah di halaman berikutnya...
Menurut Sekjen PBB, anomali ini sangat besar sehubungan dengan bulan-bulan lain yang memecahkan rekor, sehingga peneliti yakin bahwa bulan itu, bulan secara keseluruhan akan menjadi Juli terhangat dalam rekor dunia.
Selain itu, yang juga mengkhawatirkan adalah fakta suhu lautan berada pada level tertinggi yang pernah tercatat sepanjang tahun ini. Tren ini sudah terlihat sejak akhir April.
Merujuk laporan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, sejak 1970-an tahun 2015 hingga 2022 mencatat rekor delapan tahun terhangat.
Kondisi fenomena La Niña telah berakhir dan kini digantikan oleh El Niño yang artinya situasi suhu air laut makin menghangat. Perairan mulai memanas di Pasifik tropis, membawa kemungkinan satu dari lima tahun ke depan akan menjadi yang terpanas.
Apakah PBB berlebihan?
Noel Castree, seorang Profesor Bidang Kemasyarakatan & Lingkungan, Universitas Teknologi Sydney mengatakan bahwa pernyataan Guterres mengenai "pendidihan global" terlalu berlebihan.
"Pada satu sisi, " pendidihan global" jelas berlebihan, meskipun musim panas yang ekstrem dan kebakaran selama musim panas di utara. Namun sekali lagi, "global warming" sekarang ini adalah deskripsi yang terlalu jinak," kata Noel, mengutip The Conversation.
"Para ilmuwan iklim terkemuka telah mendorong agar istilah "global heating" lebih dipilih. Demikian pula, frasa seperti "krisis iklim" belum mendapatkan daya tarik di kalangan elit maupun masyarakat awam. Hal ini dikarenakan banyak dari kita yang masih merasa belum melihat krisis ini dengan mata kepala sendiri," lanjutnya.
Namun, hal ini sedang berubah. Dalam beberapa tahun terakhir, cuaca ekstrem dan peristiwa terkait telah melanda banyak negara.
Frasa yang dulunya abstrak kini menjadi nyata di dunia nyata - baik di negara maju maupun negara berkembang.
Skeptisisme terhadap iklim juga telah berkurang. Lebih sedikit orang yang meragukan ilmu pengetahuan dasar dibandingkan dengan periode panjang skeptisisme yang dibuat-buat di negara-negara Barat.
[Gambas:Infografis CNN]
Dalam konteks ini, kita dapat melihat "pendidihan global" sebagai ekspresi keprihatinan kemanusiaan yang didukung oleh ilmu pengetahuan yang ketat yang menunjukkan bahwa situasi terus memburuk.
Bahaya dari bahasa teatrikal
Ada risiko dalam memperingatkan bencana. Orang-orang yang tidak memperhatikan berita tersebut mungkin akan mematikannya jika bencana yang diprediksi tidak terjadi.
Atau peringatan tersebut dapat menambah kecemasan iklim dan membuat orang merasa tidak ada harapan sehingga tidak ada gunanya bertindak.
[Gambas:Photo CNN]
Menurut Noel ada risiko lain juga. Bahasa bencana sering kali memiliki nuansa moral - dan, seperti yang kita semua tahu, kita tidak suka diberitahu apa yang harus dilakukan.
"Ketika kita mendengar frasa seperti "pendidihan global" dalam konteks seorang pejabat terkemuka yang mendesak kita untuk berbuat lebih banyak, lebih cepat, hal ini bisa membuat kita gusar," jelasnya.
[Gambas:Video CNN]