Matahari melontarkan semburan kuat ke Bumi pada hari ini (15/12). Fenomena badai Matahari di akhir 2023 ini disebut yang terkuat sejak 2017.
Matahari kita melepaskan suar Matahari kelas X hari yang memancarkan radiasi energi tinggi. Peristiwa ini terekam dalam video yang diambil oleh wahana antariksa Solar Dynamics Observatory milik NASA.
Fisikawan Matahari mengklasifikasikan suar yang kuat ke dalam tiga kategori, yaitu C sebagai yang terlemah, M sebagai kelompok menengah, dan X sebagai yang paling kuat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Space Weather, ledakan yang terjadi pada pukul Kamis (14/12) 12:02 EST (15 Desember pukul 00.02 WIB) ini tercatat sebagai X2.8, menjadikannya suar matahari paling kuat sejak September 2017.
Suar Matahari yang kuat sering kali disertai dengan lontaran massa korona (CME), yang mengirimkan awan besar plasma Matahari ke angkasa dengan kecepatan jutaan kilometer per jam.
"Angkatan Udara AS melaporkan adanya semburan radio matahari Tipe II, yang biasanya berasal dari ujung terdepan CME. Berdasarkan tingkat penyimpangan semburan radio, kecepatan CME yang muncul dapat melebihi 2.100 km/detik (4,7 juta mph)," tulis SpaceWeather.
CME yang menghantam Bumi dapat menimbulkan badai geomagnetik, yang dapat mengganggu jaringan listrik dan infrastruktur lainnya. Badai semacam itu juga dapat meningkatkan intensitas aurora, membuat pertunjukan cahaya langit ini lebih intens dan terlihat di area yang lebih luas.
Dikutip dari Space, atmosfer Bumi mencegah radiasi berbahaya dari suar Matahari mencapai Bumi. Namun, radiasi tersebut masih dapat mempengaruhi kehidupan kita, misalnya, dengan mempengaruhi sinyal yang dikirim oleh GPS dan satelit komunikasi dan menyebabkan pemadaman radio.
Suar Matahari hari ini sendiri disebut menyebabkan sejumlah pemadaman radio gelombang pendek di Amerika.
Lebih lanjut, Matahari juga melontarkan semburan kuat yang tiba di Bumi pada 1 Desember lalu. Semburan tersebut juga masuk kelas X, sama dengan semburan yang terjadi hari ini.
Peneliti Pusat Antariksa di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Johan Muhammad mengatakan dampak yang didapat Indonesia dari badai Matahari tidak sebesar daerah yang berada di lintang tinggi seperti di sekitar kutub Bumi. Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang berada di khatulistiwa.
Meski demikian, kata Johan, tidak berarti Indonesia bebas dari dampak badai Matahari. Cuaca antariksa akan banyak berdampak pada gangguan sinyal radio frekuensi tinggi (HF) dan navigasi berbasis satelit.
"Di Indonesia, cuaca antariksa akibat aktivitas Matahari dapat mengganggu komunikasi antar pengguna radio HF dan mengurangi akurasi penentuan posisi navigasi berbasis satelit, seperti GPS," ujar Johan, dikutip dari laman resmi BRIN.
Selain itu, ada potensi gangguan teknologi satelit dan jaringan ekonomi global.
"Gangguan pada satelit dan jaringan kelistrikan di wilayah lintang tinggi seperti kutub akibat cuaca antariksa tentunya juga dapat berpengaruh terhadap kehidupan manusia di Indonesia secara tidak langsung," tuturnya.