Muhammadiyah memakai metode full hisab atau perhitungan astronomis dengan kondisi hilal atau bulan baru yang berada di bawah kriteria Pemerintah dan Nahdlatul Ulama. Hal inilah yang kerap membuat perbedaan awal Ramadhan hingga Idulfitri.
Sebelumnya, Muhammadiyah menetapkan Ramadhan 1445 Hijriah dimulai Senin (11/3). Hal itu berpotensi besar berbeda dengan ketetapan Pemerintah dan PBNU.
Dalam konferensi pers pada Januari, Pengurus Pusat Muhammadiyah menjelaskan penetapan ini berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil hitungan (hisab) menunjukkan tinggi bulan pada saat matahari terbenam di Yogyakarta pada 10 Maret yakni (¢ = -07° 48' LS dan l= 110° 21' BT ) = +00° 56' 28''. Artinya, kata Muhammadiyah, hilal sudah wujud.
Pada saat matahari terbenam 10 Maret, Bulan terhitung berada di atas ufuk (hilal sudah wujud) kecuali di wilayah Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Papua Barat Daya.
Dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal, Muhammadiyah menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal. Apakah itu?
Melansir situs resminya, Muhammadiyah hisab hakiki berarti "mengacu pada gerak faktual Bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariah (berbasis peredaran Bulan) berdasarkan pada kedudukan atau perjalanan Bulan benda langit tersebut."
Metode tersebut digunakan karena perhitungan yang dilakukan terhadap peredaran Bulan dan Matahari menurut hisab ini harus "sebenar-benarnya dan setepat-tepatnya berdasarkan kondisi Bulan dan Matahari pada saat itu."
Lihat Juga : |
Sementara, kriteria hisab hakiki yang digunakan Muhammadiyah adalah wujudul hilal. Dalam kriteria tersebut, "Matahari terbenam lebih dahulu daripada Bulan meskipun hanya berjarak satu menit atau kurang."
Muhammadiyah mendasarkan ide tersebut berasal dari pakar falak Muhammadiyah Wardan Diponingrat. Dasarnya, QS. Yasin ayat 39-40 dan juga hadis serta konsep fikih lainnya dibantu ilmu astronomi.
Hisab hakiki wujudul hilal sendiri memiliki beberapa syarat. Pedoman Hisab Muhammadiyah menjelaskan bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat Matahari terbenam terpenuhi tiga syarat secara kumulatif yakni:
(1) telah terjadi ijtimak (konjungsi, satu putaran penuh Bulan mengelilingi Bumi);
(2) ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam;
(3) pada saat Matahari terbenam, Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.
"Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka Bulan berjalan digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru dimulai lusa," kata Muhammadiyah.
Bagi Muhammadiyah, ufuk menjadi garis penentu munculnya Bulan baru. Jika saat terbenam Matahari, Bulan telah mendahului Matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat Matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk "maka itu menandai dimulainya bulan kamariah baru."
Namun, jika Bulan belum dapat mendahului Matahari saat gurub (Bulan berada di bawah ufuk saat Matahari tenggelam), "maka bulan kamariah baru belum mulai; malam itu dan keesokan harinya masih merupakan hari dari bulan kamariah berjalan."
Muhammadiyah juga memaparkan alasan menolak hisab hakiki dengan kriteria imkan rukyat atau imkanur rukyat. Meskipun, kriteria itu juga mensyaratkan adanya Bulan di atas ufuk saat Matahari tenggelam pada hari konjungsi.
Imkan Rukyat secara harfiah berarti visibilitas hilal atau Bulan sabit tipis penanda awal bulan hijriah atau kamariah, termasuk Ramadhan. Metodenya dengan mempertimbangkan hasil hisab dan juga pengamatan lapangan (rukyat).
Metoda yang dianut Kementerian Agama RI dan PBNU ini punya patokan hilal minimal 3 derajat dan sudut elongasi (jarak sudut Bulan-Matahari) 6,4 derajat.
Sementara, kata, Ketua PP Muhammadiyah Syamsul Anwar, pihaknya tidak berlandaskan pada penampakan hilal dalam hal penetapan awal bulan hijriah. Namun, berdasarkan pada posisi geometris Matahari, Bumi, dan Bulan.
"Jadi posisinya, bukan nampak dan tidaknya [hilal]," jelas dia, pada 2023.
Muhammadiyah mengaku tak memakai metode Imkanur Rukyat lantaran perbedaan pemahaman, yang berbasis fatwa, soal syarat hilal.
"Jawaban yang mungkin dapat ditelaah karena para ahli hingga saat ini belum sepakat dalam menentukan berapa derajat ketinggian Bulan di atas ufuk untuk dapat dilihat," kata lembaga.
"Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kemudian diadopsi Kementerian Agama (Kemenag) misalnya menyebut jika tinggi bulan ketika terbenam matahari di seluruh Indonesia di atas dua derajat, maka besok akan menjadi awal bulan baru."
"Hal ini berbeda dengan lembaga fatwa lain yang meski sama-sama menggunakan kriteria imkanur rukyat namun parameter tinggi bulan berbeda satu sama lain."
Walhasil, bagi Muhammadiyah, "hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab hakiki kriteria imkanur rukyat."
(tim/arh)