Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut Selat Muria yang pernah memisahkan Pulau Jawa dan Gunung Muria di masa lalu bisa muncul kembali dalam waktu dekat karena beberapa faktor alam yang kuat.
Lautan purba itu telah lama hilang dan berubah jadi daratan sekitar Demak, Jawa Tengah. Isu soal Selat Muria pun ramai kembali menyusul banjir di Demak dan sekitarnya.
Pertama, selat ini bisa muncul kembali jika ada proses geologi dahsyat, misalnya, gempa tektonik yang sangat besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Meski terjadi penurunan tanah di daerah Demak dan sekitarnya, Selat Muria bukan berarti akan terbentuk kembali dalam waktu dekat," ujar Kepala Badan Geologi Muhammad Wafid dalam sebuah keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, Jumat (22/3).
"Secara teori, Selat Muria mungkin saja terbentuk kembali, yakni apabila terjadi proses geologi yang dahsyat, misalnya terjadinya gempa bumi tektonik berkekuatan sangat besar yang menyebabkan terjadinya amblasan tiba-tiba (graben) dan mencakup areal yang luas," tambahnya.
Wafid menjelaskan graben atau amblasan tiba-tiba tersebut menjadi risiko tambahan dari bencana gempa, selain guncangan di permukaan.
Kedua, penurunan muka tanah yang serempak dalam wilayah yang luas dalam tempo lama.
"Land Subsidence atau penurunan tanah tidak cukup sebagai faktor penyebab Selat Muria terbentuk kembali," ucapnya.
"Jikapun terjadi akan memerlukan waktu yang sangat lama (skala waktu geologi; ratusan sampai ribuan tahun) dan kecepatan penurunannya harus seragam mulai dari Demak hingga Pati," lanjutnya.
Faktanya, kata dia, terdapat perbedaan kecepatan penurunan tanah, dimana pada daerah pesisir lebih cepat dibanding daratan.
Ketiga, kombinasi penurunan muka tanah, naiknya muka air laut, dan terganggunya pola aliran sungai.
"Beberapa perkiraan faktor dominan kemungkinan akan kembali terbentuknya Selat Muria adalah terjadinya penurunan muka tanah yang besar yang juga disertai kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim serta terganggunya pola aliran sungai karena elevasi daratan lebih rendah dibanding muka air laut," urainya.
Lebih lanjut, Badan Geologi menyebut wilayah pantai atau dataran pantai (coastal peneplain) adalah wilayah paling dinamis yang dibentuk oleh proses geologi, kondisi oseanografi dan klimatologi.
Secara umum proses pembentukannya masih berlangsung hingga sekarang melalui proses-proses transportasi, pengendapan dan konsolidasi sedimen, sehingga rawan terhadap bencana banjir rob, penurunan tanah, dan abrasi.
Daerah Demak dan sekitarnya secara umum didominasi dan disusun oleh endapan Kuarter berupa endapan aluvial pantai atau aluvium. Hasil survei geofisika bawah permukaan yang dilakukan oleh Badan Geologi menunjukkan terdapat sedimen bersifat lunak dan tebal.
Hal ini ditunjukkan dengan pemboran di dataran aluvium, hingga kedalaman 100 meter didominasi oleh lapisan lempung lunak dalam kondisi normally consolidated dengan sedikit sisipan pasir lepas.
Kondisi tersebut menyebabkan mudah mengalami pemampatan alamiah maupun pemampatan karena beban antropogenik (buatan manusia) yang dikerjakan pada wilayah tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan tanah.
"Di daerah pesisir Demak kecepatan land subsidence diperkirakan berkisar 5-11 cm/tahun. Beberapa tempat di daerah pesisir memiliki elevasi yang lebih rendah dibanding muka air laut, sehingga bila terjadi banjir rob akan menjorok jauh masuk ke daratan," terang Wafid.
(lom/arh)