El Nino-La Nina, Alasan BMKG Bikin Deputi Khusus Modifikasi Cuaca

tim | CNN Indonesia
Kamis, 29 Agu 2024 11:01 WIB
Ilustrasi. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkap alasan pentingnya deputi khusus modifikasi cuaca di tengah krisis iklim yang makin intens. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap alasan mereka kini memiliki deputi khusus modifikasi cuaca ternyata imbas dua fenomena iklim, El Nino dan La Nina yang semakin sering.

Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi V DPR RI dengan Kepala BMKG dan Kepala Basarnas yang digelar Selasa (27/8).

Mulanya anggota Komisi V Tubagus Haerul Jaman menyoroti permintaan penambahan anggaran sebesar Rp1,2 triliun dari BMKG untuk Tahun Anggaran 2025. Sebelumnya, BMKG hanya mendapat porsi anggaran Rp2,8 triliun untuk tahun depan.

"[BMKG] mengusulkan ada tambahan Rp1,2 triliun, diperuntukan untuk [deputi] modifikasi cuaca, kemudian juga perawatan dan sebagainya. Yang jadi pertanyaan kami, tentu terkait usulan tambahan anggaran modifikasi cuaca ini, yang menjadi pertanyaan, seberapa besar urgensinya untuk modifikasi cuaca?" tanya Tubagus dalam rapat tersebut.

Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, dalam rapat tersebut mengungkap seberapa mendesaknya keberadaan kedeputian modifikasi cuaca. Menurut dia kehadiran deputi khusus modifikasi cuaca ini penting karena saat ini dampak perubahan iklim mulai terasa.

Menurut dia sebelum perubahan iklim makin intens, modifikasi cuaca memang suatu program yang bersifat insidental. Program ini baru berjalan apabila ada prediksi soal bencana iklim.

"Namun dimulai saat terjadinya, kita memprediksi El Nino tahun 2023, itu merupakan pengulangan dari tahun 2019, dan yang kuat El Nino di tahun 2015. Kala itu belum ada modifikasi cuaca yang seintensif mulai 2023," jawab Dwikorita.

Menurutnya untuk mencegah dampak El Nino bulan Juli tahun lalu, pihaknya sudah melaksanakan modifikasi sejak beberapa bulan sebelumnya secara rutin. Hal tersebut dilakukan untuk membasahi lahan gambut yang bisa menyebabkan kebakaran hutan dan lahan imbas panas menyengat saat musim kemarau.

Dwikorita kemudian menceritakan bagaimana dampak El Nino pada tahun 2015 yang saat itu membuat kebakaran hutan merugikan negara hingga sekitar Rp200 triliun.

"Sekitar di tahun 2015-16, belum ada modifikasi cuaca, kerugiannya itu mencapai Rp200 triliun akibat El Nino kuat di 2015-2016," tuturnya.

"Kemudian terulang lagi di 2019, El Nino moderat, itu [kerugian] sekitar Rp70 triliunan. Itu mulai ada modifikasi cuaca, tapi belum permanen. Nah 2023, kita dahului karena sudah diprediksi, biayanya hanya sekitar ratusan miliar, karena untuk 6 bulan tadi, dan kerugiannya sangat-sangat minim, tidak sampai triliunan," lanjut dia.

Menurut Dwikorita imbas krisis iklim, fenomena El Nino dan La Nina kini hampir terjadi setiap tahun. Dua fenomena iklim tersebut pun memiliki dampak yang cukup signifikan di Tanah Air, sehingga menurutnya butuh keberadaan deputi khusus modifikasi cuaca.

"Tapi poinnya, kebutuhan itu sangat urgent, karena fenomena perubahan iklim dan dampak-dampaknya [seperti], karhutla, banjir, longsor, kekeringan dll. Jadi itu urgensinya dari segi penghematan uang negara apabila tidak dicegah," jelas Dwikorita.

Dwikorita, dalam paparannya, sempat mengungkap bahwa anggaran Rp1,2 triliun itu bukan hanya untuk Kedeputian Modifikasi Cuaca. Menurutnya, usulan penambahan anggaran itu juga untuk operasional harian termasuk pemeliharaan, serta untuk anggaran inovatif.

Krisis iklim yang sedang memanaskan Bumi disebut memicu tingkah yang lebih 'gila' dari fenomena El Nino dan La Nina. Bentuknya, perubahan frekuensi kemunculan dan kekuatannya.

La Nina merupakan anomali iklim yang berpusat di Samudera Pasifik yang bisa menambah curah hujan di Indonesia. Hasilnya, banjir, hujan, longsor lebih banyak.

Sebaliknya, El Nino, anomali yang berpusat di wilayah yang sama, memicu penurunan curah hujan dan kekeringan di RI.

Guswanto, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, juga pernah mengatakan krisis iklim ini membuat periode La Nina dan El Nino, yang pada dasarnya adalah anomali iklim, makin cepat dan intensitasnya makin kuat.

"Periodenya semakin rapat. Kedua, intensitasnya atau dampaknya lebih besar di mana dulu biasanya banjir hanya 3 hari hilang, sekarang biasanya sampai seminggu bahkan 2 minggu," tuturnya.

Sebelum pemanasan global merajalela, Guswanto mengungkap periode kemunculannya antara 5hingga 7 tahun sekali. Angkanya kemudian meningkat menjadi 3-5 tahun.

"Dan sekarang hanya 2 sampai 1 tahun, bahkan," lanjut dia.

Guswanto mencontohkannya dengan peristiwa La Nina yang terjadi terus menerus pada 2020, 2021, 2022,yang disebut sebagai tripple Deep La Nina. Setahun setelah itu, muncul El Nino yang kini kondisinya masih moderat.

(tim/dmi)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK