Cuaca dingin terasa di sejumlah wilayah Jakarta dan sekitarnya dalam beberapa hari terakhir. Tercatat, suhu di Jakarta dalam beberapa waktu terakhir berada di kisaran 25 hingga 27 derajat Celsius pada pagi dan malam hari.
Cuaca dingin ini terjadi di saat seharusnya musim kemarau mulai melanda. Lantas, apa penyebab cuaca dingin yang melanda sejumlah wilayah Jakarta dan sekitarnya?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap fenomena cuaca dingin di Jakarta dan sekitarnya disebabkan oleh beberapa faktor.
Guswanto, Deputi Meteorologi BMKG, mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan cuaca dingin dalam beberapa waktu terakhir adalah Angin Monsun Australia. Menurut dia angin ini bertiup menuju Benua Asia melewati Wilayah Indonesia dan perairan Samudera Hindia yang memiliki suhu permukaan laut relatif lebih rendah, sehingga menyebabkan suhu udara terasa lebih dingin.
"Angin ini bersifat kering dan sedikit membawa uap air, sehingga pada malam hari suhu mencapai titik minimumnya dan udara terasa lebih dingin," jelas Guswanto saat dihubungi, Senin (30/6).
Faktor lain yang membuat cuaca terasa lebih dingin adalah badai tropis di wilayah utara Indonesia atau sebelah timur Filipina yang menyebabkan aliran udara dari Benua Australia ke Asia semakin menguat. Hal ini membuat wilayah Jawa bagian barat menerima uap air yang cukup tinggi dan mengalami suhu yang lebih dingin.
"BMKG memprakirakan bahwa suhu dingin ini akan terus terjadi hingga menjelang akhir Juli, dengan suhu di Jakarta dan sekitarnya mencapai 25-27 derajat Celcius pada pagi hingga siang hari, dan turun menjadi 25 derajat Celcius pada malam hari," ujar Guswanto.
Fenomena cuaca dingin pada musim kemarau umum terjadi. BMKG menyebut hal ini sebagai fenomena Bediding.
"Fenomena udara dingin ini di daerah Jawa dikenal sebagai Bediding. Fenomena bediding dalam konteks klimatologi merupakan hal normal karena memang proses fisisnya berkaitan dengan kondisi atmosfer saat musim kemarau," tulis BMKG di lamannya.
Pada musim kemarau, kata BMKG, jarang terjadi hujan dan tutupan awan berkurang. Hal ini menyebabkan panas permukaan bumi akibat radiasi Matahari lebih cepat dan lebih banyak yang dilepaskan kembali ke atmosfer berupa radiasi balik gelombang panjang.
Kemudian, curah hujan yang kurang juga menyebabkan kelembapan udara juga rendah yang berarti uap air di dekat permukaan bumi juga sedikit.
Bersamaan dengan kondisi langit yang cenderung bersih dari awan, maka panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepaskan ke atmosfer luar. Hal tersebut membuat udara dekat permukaan terasa lebih dingin, terutama pada malam hingga pagi hari.
"Kondisi ini umum terjadi pada wilayah Indonesia dekat khatulistiwa hingga bagian utara. Pada wilayah ini, meski pagi hari cenderung lebih dingin namun pada siang hari udara akan terasa lebih panas," jelas BMKG.
"Hal ini karena ketiadaan awan dan juga kurangnya uap air saat musim kemarau menyebabkan radiasi langsung matahari akan lebih banyak pula yang mencapai permukaan bumi," lanjutnya.
Sementara itu, wilayah selatan Indonesia seperti Sumatera Selatan, Jawa Bagian Selatan hingga Bali, NTT dan NTB pada siang hari suhu udara juga akan lebih rendah dari suhu udara periode bulan lainnya.
Fenomena ini disebut cukup terasa pada bulan Juli di mana pada periode tersebut angin timuran atau monsun Australia yang kering mengalir melewati wilayah-wilayah tersebut.
"Pada bulan Juli juga merupakan puncak musim dingin Australia sehingga udara dinginnya mengintrusi masuk wilayah Jawa Bagian Selatan hingga Bali, NTT dan NTB," tutur BMKG.
Alhasil, meskipun saat musim kemarau matahari bersinar terang tanpa hambatan awan pada siang hari, tetapi udara dingin dari aliran monsun Australia lebih dominan memengaruhi penurunan suhu udara pada siang hari tersebut.
(dmi/dmi)