Tekan Malaria, BRIN Teliti Bakteri Wolbachia pada Nyamuk di Papua

CNN Indonesia
Rabu, 02 Jul 2025 16:00 WIB
Penelitian pada nyamuk Anopheles dilakukan di lima titik di Kabupaten Keerom, yakni di Sanggaria, Yatu Raharja, Ubiyau, Samanawa, dan Pitewi.
Ilustrasi. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memulai studi awal pendeteksian bakteri Wolbachia di Papua. Pixabay/skeeze
Jakarta, CNN Indonesia --

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memulai studi awal pendeteksian bakteri Wolbachia di Papua yang merupakan daerah endemis malaria.

Penelitian pada nyamuk Anopheles dilakukan di lima titik di Kabupaten Keerom, yakni di Sanggaria, Yatu Raharja, Ubiyau, Samanawa, dan Pitewi.

"Nyamuk yang dikumpulkan berasal dari metode human landing collection (HLC) dan resting collection tahun 2023. Analisis dilakukan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR)," kata Peneliti Ahli Madya BRIN Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman, Rusdiyah, dalam webinar bertajuk "Update Penyakit Tular Vektor; Berpotensi Menjadi Pandemi Berikutnya", Rabu (25/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wolbachia merupakan bakteri endosimbion alami yang ditemukan pada sekitar 70 persen serangga dan diturunkan secara maternal. Bakteri ini memiliki kemampuan untuk mengganggu siklus hidup patogen penyebab penyakit dalam tubuh nyamuk, serta memengaruhi reproduksi serangga.

Dari total 1.701 nyamuk yang diteliti, ditemukan empat spesies utama, yakni Anopheles punctulatus, koliensis, farauti, dan bancrofti. Wolbachia terdeteksi secara alami pada tiga spesies, dengan prevalensi tertinggi pada Anopheles punctulatus.

Namun secara keseluruhan, hanya sekitar 2,9 persen dari total sampel yang terinfeksi.

"Meskipun prevalensinya rendah, temuan ini cukup signifikan karena menunjukkan bahwa Wolbachia memang ada secara alami pada nyamuk Anopheles di Papua. Ini membuka peluang intervensi berbasis pendekatan biologis lokal," tutur Rusdiyah, dikutip dari laman BRIN.

Rusdiyah menjelaskan tiga mekanisme utama bagaimana Wolbachia bekerja dalam pengendalian vektor.

Pertama, inkompatibilitas sitoplasmik (CI), yakni telur dari nyamuk betina liar yang dikawini oleh nyamuk jantan pembawa Wolbachia tidak akan menetas.

Kedua, pemendekan umur nyamuk, di mana Wolbachia mempercepat kematian nyamuk sebelum mereka sempat menularkan patogen.

Ketiga, gangguan terhadap patogen (pathogen interference). Dalam hal ini, bakteri Wolbachia menghambat replikasi patogen seperti Plasmodium (malaria) di tubuh nyamuk melalui peningkatan sistem imun serangga dan mekanisme biokimia lainnya.

Lebih lanjut, penyakit tular vektor masih menjadi tantangan besar dalam sistem kesehatan global. Malaria sebagai salah satu penyakit tular vektor utama, telah menyebabkan 2 miliar kasus dan 11,7 juta kematian sepanjang 2000 hingga 2023.

Penelitian ini mencoba menduplikasi solusi yang sudah berhasil diterapkan pada kasus demam berdarah.

"Pendekatan ini telah terbukti berhasil di berbagai negara. Di Yogyakarta, pelepasan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi Wolbachia berhasil menurunkan kasus dengue hingga 77 persen. Keberhasilan serupa juga terjadi di Brasil dan beberapa negara lain," terang Rusdiyah.

Meski pendekatan ini telah berhasil pada nyamuk Aedes, penelitian terhadap Wolbachia pada nyamuk Anopheles vektor utama malaria masih sangat terbatas.

Penelitian yang dinilai menjanjikan ini disebut masih memiliki sejumlah tantangan. Efektivitas Wolbachia sangat bergantung pada spesies nyamuk dan strain bakteri yang digunakan.

Selain itu, belum diketahui apakah infeksi yang ditemukan bersifat stabil dan dapat diwariskan dari generasi ke generasi, yang penting untuk menjaga keberlanjutan dampaknya.

Rusdiyah menerangkan studi ini belum mencakup uji biologis terhadap efektivitas Wolbachia dalam menghambat Plasmodium secara langsung. Metodologi masih terbatas pada PCR, dan ke depan perlu dikombinasikan dengan pendekatan molekuler lain yang lebih dalam.

"Kami belum bisa menyimpulkan dampak langsung Wolbachia terhadap malaria. Penelitian ini menjadi tahap awal yang sangat mendasar untuk membangun strategi intervensi jangka panjang," katanya.

Rusdiyah menyebut pendekatan berbasis insektisida seperti kelambu berinsektisida dan fogging mulai kehilangan efektivitas karena resistensi nyamuk dan perubahan perilaku vektor.

"Munculnya resistensi terhadap insektisida, pola penularan luar ruang (outdoor transmission), dan perubahan lingkungan mendorong kita untuk mencari solusi baru yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya adalah pendekatan berbasis Wolbachia," tutup Rusdiyah.

(lom/mik)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER