Fauzan Fuadi
Fauzan Fuadi
Pemerhati media sosial dan menyukai politik. Lahir di Lamongan dan pernah menempuh pendidikan di pesantren. Alumnus pascasarjana Medkom Unair.
KOLOM

Algoritma Tak Bernama, Ilusi Kebebasan dan Kedaulatan di Ruang Digital

Fauzan Fuadi | CNN Indonesia
Senin, 18 Agu 2025 10:00 WIB
Saat kebebasan disamakan dengan akses, kita terkecoh. Kebebasan cuma ilusi jika informasi yang diterima telah disaring, dibentuk, bahkan disesatkan algoritma.
Foto ilustrasi. (iStockphoto/Blue Planet Studio)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --

Di sebuah sudut desa di lereng Gunung Panderman Kota Batu, Jawa Timur, seorang anak laki-laki membuka gawainya. Ia membuka YouTube, mendengarkan musik, lalu mencari tahu mengapa cuaca semakin panas dari hari ke hari.

Di saat bersamaan, di Surabaya, seorang perempuan muda membagikan kisah tentang kesehatan mentalnya di sebuah platform digital. Sementara tak jauh dari sana, seorang petani dari Kediri mendokumentasikan panen jagungnya di Facebook, berharap ada tengkulak yang tertarik untuk membeli langsung darinya.

Semuanya terhubung. Semuanya hadir di ruang digital dan semuanya percaya bahwa mereka sedang hidup dalam kemerdekaan informasi.

Apakah ruang digital yang tampak luas, cair, tanpa pagar dan tanpa penjaga itu benar-benar menjamin kebebasan informasi bagi setiap warga?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apakah setiap warga digital hari ini, baik yang berada di perkotaan maupun di lereng pegunungan, sudah benar-benar berdaulat atas datanya, atas pikirannya, atas informasi yang mereka terima dan bagikan?

Pertanyaan ini menjadi penting, dan begitu mendesak saat ini. Sebab, dalam keheningan algoritma dan lalu lintas data yang tak terlihat, sedang terjadi sesuatu yang samar. Sebuah pertarungan diam-diam atas siapa yang menguasai kenyataan.



Pada zaman ketika "kebebasan" disamakan dengan akses, kita mudah terkecoh. Tentu, secara teknis, kita kini lebih bebas daripada sebelumnya. Kita bisa memilih untuk membaca berita dari lima belas situs yang berbeda, melihat dunia dari berbagai sudut, bahkan menyuarakan pendapat tanpa harus menunggu panggung.

Tetapi kebebasan semacam itu hanyalah ilusi, jika pada akhirnya informasi yang kita terima telah disaring, dibentuk, bahkan disesatkan oleh algoritma yang tak pernah kita kenal namanya.

Kita tidak sedang membaca dunia, tapi kita sedang dibaca oleh dunia. Data-data yang kita klik, geser, tonton, beli, marah, suka, bahkan diam, Kemudian dikumpulkan, dianalisis, dan dimonetisasi.

Kita bukan lagi sekadar konsumen, tetapi juga produk. Maka yang terjadi bukan hanya krisis privasi, tapi juga kehilangan kedaulatan atas kesadaran.

Kedaulatan digital seharusnya dimulai dari dua hal sederhana dan mendasar: kesadaran atas data dan kontrol atas informasi. Tanpa dua hal itu, kemerdekaan informasi hanyalah bendera yang dikibarkan tanpa tiang.

Namun bagaimana mungkin masyarakat bisa mengendalikan datanya jika mereka bahkan tidak tahu bahwa data itu sedang dikumpulkan. Bagaimana mungkin seseorang bisa membedakan informasi yang benar jika media sosial lebih mengutamakan kecepatan daripada akurasi, emosi dari pada verifikasi.

Di titik inilah, ancaman disinformasi muncul bukan hanya sebagai gangguan komunikasi, tetapi sebagai bentuk penjajahan baru. Ia menyerang bukan dengan senjata, melainkan dengan keraguan.

Ia membuat orang percaya pada apa yang ingin mereka percaya, bukan pada kebenaran. Dan ironisnya, semuanya dilakukan dengan persetujuan diam-diam dari kita sendiri melalui syarat dan ketentuan yang tak pernah kita baca, melalui "klik setuju" yang kita lakukan bahkan sebelum sempat berpikir.

Maka kedaulatan digital, jika boleh kita tegaskan, bukanlah romantika. Ia adalah hak. Ia bukan sekadar wacana futuristik, tetapi soal keberlangsungan demokrasi. Sebab tidak ada demokrasi tanpa informasi yang bebas, dan tidak ada kebebasan informasi tanpa perlindungan terhadap data pribadi.

Pemerintah, dalam hal ini, tentu memiliki tanggung jawab besar. Bukan hanya untuk membuat regulasi, tetapi untuk menciptakan ekosistem digital yang adil dan transparan. Ada tanggung jawab terbesar justru berada pada masyarakat sipil itu sendiri. Sebab dalam dunia digital, kita semua adalah penjaga gerbang. Kita harus menjadi orang pertama yang bertanya: dari mana informasi ini berasal? Siapa yang diuntungkan? Apakah saya sedang berpikir, atau sekadar dikendalikan oleh gelombang emosi massa?

Dalam sejarahnya, bangsa ini telah belajar bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari perjuangan panjang. Maka kemerdekaan informasi di era digital juga menuntut perjuangan serupa: tidak dalam bentuk senjata, tetapi dalam bentuk kesadaran. Tidak dalam bentuk demonstrasi jalanan, tetapi dalam kemampuan membaca, memilah, dan mempertanyakan.

Hari ini, ketika semua orang bisa menjadi sumber informasi, maka semua orang juga bisa menjadi sumber disinformasi. Ruang digital, sebagaimana ruang fisik, membutuhkan etika. Bukan hanya etika individu, tetapi juga etika kolektif. Etika untuk tidak menyebarkan tanpa membaca, untuk tidak percaya tanpa bukti, dan untuk tidak mencaci hanya karena berbeda.



Di tengah badai kebisingan ini, berdaulat berarti mampu berdiri teguh meski sendiri untuk sebuah kebenaran. Dan kebenaran, seperti yang selalu kita tahu, tidak selalu populer.

Di masa depan yang mungkin semakin bising, kita hanya akan bisa bertahan jika kita mampu membangun ketenangan dari dalam. Ketenangan untuk tidak larut dalam provokasi. Ketenangan untuk tidak terseret oleh arus yang diciptakan mesin. Dan ketenangan untuk tetap menjadi manusia, bahkan ketika dunia berubah menjadi rangkaian kode.

Karena sesungguhnya, berdaulat di ruang digital bukan hanya soal teknologi. Ia soal martabat. Dan martabat, sebagaimana kemerdekaan, bukan sesuatu yang diberikan oleh orang lain. Ia adalah sesuatu yang kita rebut, kita pelihara, dan kita perjuangkan setiap hari dengan berpikir jernih, dengan bertindak sadar, dan dengan tidak menyerahkan hidup kita pada tombol-tombol yang tidak kita pahami.

Merdeka bukan berarti bebas tanpa batas. Merdeka adalah tahu batas, dan memilih dengan sadar. Maka bergembiralah di ruang digital dan menjadi merdeka.

(sur/sur)


[Gambas:Video CNN]
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER