BRIN Ungkap Ketersediaan Air di IKN Minim, Potensi Krisis Mengintai
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap ketersediaan air di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) dan sekitarnya cenderung kecil. Pemerintah perlu menerapkan sejumlah langkah untuk mengatasi kemungkinan krisis air di wilayah tersebut.
Berdasarkan hasil kajian BRIN, persentase ketersediaan air di wilayah IKN menunjukkan komposisi air tinggi (high water/HW) hanya sebesar 0,51 persen. Sementara itu, air vegetasi (vegetation water/VW) tercatat 20,41 persen, dan non-air (non water/NW) mencapai 79,08 persen.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Laras Toersilawati menjelaskan kajian dilakukan menggunakan data satelit sepanjang Januari-Desember 2022.
Laras menyebut minimnya ketersediaan air dapat berdampak terhadap perubahan iklim dan lingkungan sekitar.
Hal tersebut dapat menyebabkan berkurangnya hujan (jumlah hari hujan dan curah hujan), serta penurunan kualitas air (asam dan tercemar zat besi).
Selain itu, krisis air bisa juga menimbulkan dampak sosial dan lingkungan pada peningkatan kebutuhan air, karena pendatang yang tertarik ke IKN bisa meningkatkan kebutuhan air bersih.
Untuk mengatasi kemungkinan kelangkaan air di IKN, kata Laras, pemerintah dapat membangun bendungan dan sistem perpipaan baru, dan embung.
Lihat Juga : |
Kedua, pemerintah juga bisa membangun hutan kota, dan melakukan konservasi lahan dengan reboisasi atau penanaman pohon pengganti karena alih lahan dari hutan industri eucalyptus menjadi lahan terbangun.
"Penerapan Kota Spons (Sponge City) dengan cara mengelola air hujan secara alami, menyerap dalam tanah, dan memanfaatkan kembali. Serta tak kalah penting melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya menghemat dan tidak mencemari air, ini bisa menjadi solusinya," katanya dalam sebuah keterangan, Rabu (1/10).
Lebih lanjut, studi ini menggunakan citra Sentinel-2A yang dianalisis langsung dari Google Earth Engine (GEE) untuk menghitung tiga indeks spektral, yaitu Indeks Air Permukaan Tanah (LSWI), Indeks Perbedaan Vegetasi Ternormalisasi (NDVI), dan Indeks Perbedaan Air Ternormalisasi (NDWI).
Tiga indeks ini digunakan sebagai prediktor dalam model Artificial Neural Network (ANN) atau Jaringan Saraf Tiruan (JST).
"JST atau ANN ini merupakan sistem pemrosesan informasi dengan karakteristik yang mirip dengan jaringan saraf biologis, yaitu jaringan saraf pada otak manusia. JST awalnya dirancang sebagai alat pengenalan pola dan analisis data, yang memiliki keunggulan dibandingkan metode statistik konvensional yang mengharuskan data berdistribusi normal," tutur Laras.
Laras menjelaskan bahwa model yang dibuat mengikuti tahapan-tahapan dalam jaringan saraf tiruan, yaitu menentukan arsitektur jaringan saraf tiruan, meliputi lapisan masukan dan keluaran, penyiapan data sampel, pelatihan data sampel, dan pengujian data yang telah dan belum dilatih.
Menurutnya, penginderaan jauh dengan satelit digunakan untuk mendeteksi perubahan kadar air dalam tanah atau vegetasi, dengan menggunakan indeks inframerah dekat (NIR) 0,7-1,3 μm dan SWIR.
(lom/dmi)