Asal-usul Legenda Kuntilanak dan Alasan Hantu Digambarkan Perempuan

CNN Indonesia
Jumat, 31 Okt 2025 19:13 WIB
Beberapa pakar pernah menjelaskan fenomena kuntilanak yang sering digambarkan sebagai sosok perempuan yang meninggal penasaran.
Beberapa pakar pernah menjelaskan fenomena kuntilanak yang sering digambarkan sebagai sosok perempuan yang meninggal penasaran. (cocoparisienne/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kuntilanak acap kali diceritakan sebagai sosok perempuan yang meninggal penasaran dan 'rohnya' bergentayangan untuk mencari keadilan.

Rata-rata penggambarannya pun sama, berambut panjang yang dibiarkan terurai berantakan dan memakai baju panjang putih. 

Kisah-kisah yang menyebut kuntilanak berjenis kelamin perempuan tidak hanya menyebar dari mulut ke mulut, tetapi juga digambarkan dalam film-film dan kisah horor lainnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Asal Kuntilanak

Timo Duile, antropolog dari Departemen Kajian Asia Tenggara di Bonn University, Jerman mengungkap bahwa kehadiran cerita kuntilanak berkaitan erat dengan pendirian Kota Pontianak.

Dalam studi berjudul 'Kuntilanak Ghost Narratives and Malay Modernity in Pontianak, Indoesia,' Timo menjelaskan asal muasal Kota Pontianak di Kalimantan Barat bermula dari kedatangan bangsawan keturunan Arab, Syarif Abdurrahim pada 1771.

Syarif diberi lahan di pertemuan sungai-sungai besar dekat delta Sungai Kapuas, lokasi strategis jalur perdagangan utama untuk mengangkut barang dari pedalaman pulau.

Masalahnya, delta tersebut merupakan markas para perompak, sehingga ia kemudian harus menjadikan kota ini sebagai benteng melawan para perompak (Hasanuddin 2014: 21-22).

Namun, tantangan lainnya adalah kondisi delta yang masih berupa rawa-rawa dan hutan lebat.

Sehingga, tidak heran ada yang mengklaim bahwa nama 'Pontianak' berasal dari bahasa Melayu 'pon ti' atau pohon tinggi (Asma 2013:xxxiii).

Hal tersebut sejalan dengan interpretasi narasi kuntilanak; pohon tinggi sering diasosiasikan dengan arwah di pedesaan Kalimantan Barat.

Senada, buku 'Pontianak heritage dan beberapa yang berciri khas Pontianak' menyebut nama Pontianak berasal dari hantu Kuntilanak, atau hantu perempuan, yang diklaim banyak muncul di pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak.

"Cerita bermula saat rombongan Syarif Abdurrahim tiba di kawasan itu. Mereka melihat banyak gangguan dan suara yang menakutkan. Gangguan tersebut dianggap sebagai hantu jahat, sebagai hantu kuntilanak dan membuat takut orang-orang di atas perahu," dikutip dari buku tersebut.

"Keesokan harinya, mereka tidak melanjutkan perjalanan [...]. Maka, sebagai alat pengusir hantu, Syarif Abdurrahim menembakkan meriam," kata buku itu lagi. 

Peran perempuan sebagai perantara

Aktivis perempuan Nadya Karima Melati, dalam tulisannya berjudul Monsterisasi Perempuan dan Monoteisme: Sebuah Perspektif Longue Duree di Jurnal Perempuan mengungkap, fenomena hantu yang kerap digambarkan sebagai perempuan --salah satunya kuntilanak-- tak lepas dari fenomena kepercayaan di masa silam.

Ia mengutip pendapat antropolog Jeannette Marie Maego dan Alan Howard dalam buku Spirits in Culture History and Mind (1996).

"Menurut mereka, kehadiran monoteisme tidak ingin menghilangkan sosok dan relasi masyarakat dengan roh [spirits] sebagai kepercayaan asli mereka secara total, tapi mengubah peran roh dalam masyarakat dan menjadikannya monster/hantu," kata Nadya.

Ia mengatakan perempuan menjadi penyambung komunikasi antara roh dan manusia pada masa pra-agama monoteisme.

"Dalam kepercayaan lokal sebelum kehadiran agama monoteis, roh hidup berdampingan dan saling berkomunikasi. Roh berbeda dengan dewa yang memiliki kekuatan. Roh pada umumnya memiliki berbagai sifat sebagaimana manusia pada umumnya: ada yang baik, ada yang jahat atau ada yang netral," katanya.

"Untuk itu dibutuhkan perantara dari dunia manusia untuk bisa berkomunikasi dengan dunia roh. Perantara tersebut adalah sosok yang sakti seperti perempuan, sebab mereka menstruasi atau sosok dengan identitas harmonis seperti bissu (rohaniawan, red)," imbuhnya.

Konsep ketuhanan dalam agama monoteisme seperti Islam dan Kristen, kata Nadya lagi, merupakan konsep yang "maskulin" yang kemudian menggeser kepercayaan lokal yang berhubungan dengan roh dan alam.

"Kehadiran monoteisme menolak adanya sosok spiritual lain selain Tuhan. Monoteisme mengganti peran dewa-dewi menjadi sosok panteon, santa atau manusia super. Sementara roh dengan posisi yang setara manusia bergeser menjadi hantu/monster," jelas Nadya.

Monoteisme ikut menggeser makna upacara-upacara kepercayaan yang menggunakan metode komunikasi dengan roh, dari kegiatan yang berhubungan dengan proses transenden menjadi "kesurupan".

Alhasil, peran perempuan yang sebelumnya sebagai perantara roh berubah menjadi dukun atau penyihir, karena perempuan dianggap mampu berkomunikasi dan memerintahkan roh.

"Perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah dan mudah dirasuki oleh roh jahat, atau roh jahat itu berwujud seperti perempuan," ujar Nadya.

(lmy/vws)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER