Fenomena Langka Laut Alor yang Bikin Ikan-ikan Pingsan

CNN Indonesia
Sabtu, 01 Nov 2025 10:21 WIB
Fenomena laut yang langka terjadi di perairan Selat Mulut Kumbang, Alor Kecil, Nusa Tenggara Timur pada pekan ini.
Ilustrasi laut. Fenomena laut yang langka terjadi di perairan Selat Mulut Kumbang, Alor Kecil, Nusa Tenggara Timur. (iStock/mihtiander)
Jakarta, CNN Indonesia --

Perairan Selat Mulut Kumbang, Alor Kecil, Nusa Tenggara Timur kerap mengalami fenomena langka yang tak terjadi di tempat lain di dunia: suhu air laut anjlok dari 28 derajat Celcius menjadi 12 derajat Celcius dan membuat ikan-ikan pingsan.

Fenomena ekstrem ini dikenal sebagai Extreme Upwelling Event (EUE). 

Menurut peneliti Ahli Madya Pusat Riset Sistem Biota Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Achmad Sahri, EUE merupakan peristiwa naiknya massa air laut yang sangat dingin dari lapisan dalam menuju permukaan, secara tiba-tiba.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Biasanya penurunan suhu akibat upwelling di daerah tropis hanya sekitar dua derajat Celcius, tetapi di Alor kami mencatat penurunan hingga sepuluh derajat hanya dalam waktu singkat sekitar satu jam," ujar Sahri dalam keterangannya, Jumat (30/10).

Guru Besar di Departemen Oseanografi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Anindya Wirasatriya menjelaskan fenomena ini terjadi bersamaan dengan pasang purnama yang menggerakkan air secara vertikal.

"Peristiwa ini berlangsung bersamaan dengan pasang purnama (spring tide) yang memicu pergerakan massa air secara vertikal dengan kecepatan sekitar 0,012 meter per detik," ujar Anindya.

"Selain suhu yang anjlok, salinitas air laut juga meningkat dari 30 PSU menjadi 36 PSU, menunjukkan bahwa air yang naik berasal dari lapisan laut yang lebih dalam, di mana suhu lebih rendah dan kadar garam lebih tinggi," katanya lagi.

Anindya mengatakan EUE berlangsung setidaknya selama 1-4 hari dan dapat terjadi dua kali dalam sehari mengikuti pasang surut semi-diurnal. Hal ini menjadikannya fenomena langka, tetapi penting untuk dipahami karena berdampak besar pada ekosistem laut setempat.

Fenomena EUE di Selat Mulut Kumbang diklaim sebagai yang pertama dan satu-satunya di dunia karena hingga saat ini belum ada laporan kejadian serupa di perairan tropis lainnya.

Proses topografi lokal yang khas

Perubahan suhu yang besar, kata Anindya, menunjukkan adanya proses oseanografi dan topografi lokal yang khas dan belum pernah tercatat di daerah tropis lain, menjadikan EUE di wilayah ini sebagai fenomena unik dan langka secara global.

"EUE ini unik karena belum pernah dilaporkan di wilayah tropis lainnya. Artinya, dinamika dan topografi lokal Selat Mulut Kumbang memiliki karakteristik khusus yang memicu fenomena langka ini," tuturnya.

"Penelitian menunjukkan bahwa EUE dipicu oleh interaksi kompleks antara arus pasang surut, arus laut dalam, dan bentuk dasar laut yang sempit serta curam. Saat pasang naik, arus membawa massa air dingin dari kedalaman ke arah utara melalui saluran bawah laut, sementara arus hangat Indonesian Throughflow (ITF) bergerak ke selatan. Pertemuan dua arus berlawanan ini menciptakan turbulensi kuat yang mendorong air dingin naik ke permukaan." tambahnya.

Menurut Anindya, EUE hanya terjadi pada periode tertentu, yakni antara Agustus hingga November, yang menunjukkan adanya pengaruh kuat dari sistem monsun tahunan terhadap dinamika arus dan suhu perairan.

Kombinasi faktor pasang surut, arus laut dalam, topografi yang sempit dan curam, serta pengaruh monsun menjadikan Selat Mulut Kumbang lokasi ideal terjadinya fenomena oseanografi langka ini.

Potensi wisata

Fenomena ini juga disebut berdampak langsung pada kehidupan laut. Penurunan suhu ekstrem menyebabkan ikan-ikan tropis mengalami kejutan termal hingga pingsan dan mudah ditangkap oleh warga sekitar.

"Kondisi tersebut juga menarik perhatian lumba-lumba dan mamalia laut lainnya yang memanfaatkan momen tersebut untuk berburu ikan." tutur Sahri.

Lebih lanjut, selain dampak ekologis, EUE di Alor juga memiliki potensi ekonomi dan wisata yang besar.

Kejadian langka ini dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata ilmiah berbasis konservasi, di mana wisatawan dapat menyaksikan fenomena alam luar biasa tanpa merusak lingkungan, sehingga dapat berkelanjutan.

"Masyarakat dapat mengamati lumba-lumba dari bibir pantai atau tubir, tanpa harus menggunakan perahu yang dapat mengganggu tingkah laku biota tersebut," tambah Sahri.

(lmy/vws)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER