Penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) di Indonesia menjadi yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Namun begitu, jumlah perusahaan rintisan atau startup AI di Indonesia masih sedikit.
Hal ini terekam dalam laporan e-Conomy SEA 2025 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company. Laporan itu mengungkap adopsi teknologi AI di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara. Namun, jumlah startup AI di Tanah Air tidak sebesar adopsinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kita lihat aplikasi-aplikasi yang memasarkan fitur AI mereka, Indonesia ini menunjukkan momentum komersial yang paling kuat. Karena kita memimpin dalam pertumbuhan pendapatan yang datang dari aplikasi dengan fitur AI sebesar 127 persen dari tahun ke tahun," ujar Veronica Utami, Country Director Google Indonesia di Kantor Google Indonesia, Jakarta, Kamis (13/11).
Laporan tersebut menunjukkan masyarakat Indonesia memiliki interaksi harian dan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi terhadap AI. Veronica mengatakan sebanyak 80 persen responden menggunakan dan berinteraksi dengan alat dan fitur AI setiap hari.
"Ini artinya kita peringkat kedua tertinggi di seluruh Asia Tenggara dan selisihnya pun sedikit Vietnam di 81 persen," tutur Veronica.
Kemudian, 51 persen responden mengatakan mereka mengalami penghematan waktu terutama pada proses riset dan perbandingan.
Dari sisi tenaga kerja dan keterampilan AI, Indonesia juga mengalami pertumbuhan cukup pesat. Keikutsertaan pada pelatihan yang berkaitan AI generatif bahkan meningkat 3 kali lipat.
Menurut Veronica, integrasi dan adaptasi AI saat ini bukan lagi konsep masa depan, tetapi keunggulan kompetitif.
Meski adopsi AI menunjukkan nilai tertinggi di Asia Tenggara, tidak demikian dengan jumlah startup AI di Tanah Air. Indonesia hanya memiliki sekitar 45 startup AI, kalah dari Malaysia dengan sekitar 60 startup, dan Singapura dengan lebih dari 495 startup.
Veronica mengatakan fakta tersebut harusnya menjadi cambuk bagi para pelaku di Indonesia untuk ikut berinovasi dan produksi.
Ia menyoroti beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan startup AI di Indonesia, mulai dari sisi skill hingga beban CapEx.
Veronica menyebut skill menjadi kebutuhan utama untuk membuat startup AI. Di sisi CapEx, katanya, ada perbedaan besar antara startup AI dan startup teknologi konvensional.
"Startup AI membutuhkan daya komputasi dengan pemrosesan tinggi, yang berarti juga memerlukan capital expenditure (capex) yang besar. Dan itu berlaku terus-menerus. Jadi, mungkin hambatan untuk masuk (barrier to entry) memang lebih tinggi," jelasnya.
Selain itu, masalah ketersediaan infrastruktur dan regulasi yang pro inovasi juga dinilai sebagai salah satu faktor pertumbuhan jumlah startup.
Lebih lanjut, Veronica juga menyoroti prinsip kerja startup yang berubah dari semula hanya mengejar pertumbuhan yang cepat tanpa memikirkan monetisasi. Kini, para startup mencari formula monetisasi yang jelas dan mengusung keberlanjutan.
(lom/dmi)