Pemerintah Siapkan Peta Jalan AI, Strategi Menuju Kedaulatan Teknologi

FMB9 | CNN Indonesia
Rabu, 26 Nov 2025 16:28 WIB
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Nezar Patria. (Foto: Arsip Komdigi)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) semakin memasuki ruang ekonomi, pendidikan, hingga kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Pada titik ini, negara tidak lagi berfokus pada sekadar pemanfaatan teknologi, tetapi juga memastikan bahwa arah pengembangan AI berjalan sesuai kepentingan nasional. 

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Nezar Patria, menegaskan bahwa pemerintah telah menyusun Peta Jalan Nasional AI beserta Pedoman Etika AI sebagai fondasi tata kelola teknologi yang aman, inklusif, dan berdaulat. Ia menilai Indonesia perlu memiliki model AI yang relevan dengan karakter dan kebutuhan domestik, yang ia sebut sebagai 'Sovereign AI yang Berdaulat'.

"Yang paling penting adalah satu, kita jangan menjadi budaknya AI, tapi kita harus menjadi tuannya. Yang kedua, kita jangan jadi bangsa yang hanya menonton, menjadi pasar, tapi kita harus jadi pemain," ujarnya dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) NgobrolINdonesia yang mengangkat tema 'Kecerdasan Artifisial: Jembatan menuju Indonesia Emas', Selasa (25/11).

Ia melanjutkan, dua dokumen strategis tersebut disusun melalui proses kolaboratif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Mulai dari kementerian dan lembaga pemerintah, pelaku industri, komunitas masyarakat sipil, hingga para peneliti yang bergelut langsung dengan pengembangan AI. 

Nezar menambahkan, Pemerintah menempatkan peta jalan dan pedoman etika tersebut sebagai pelengkap kerangka hukum lain, mulai dari UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), Permenkominfo tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), hingga ketentuan hak cipta. Tujuannya memastikan seluruh pengembangan, pemanfaatan, dan distribusi teknologi berada dalam satu jalur regulasi yang konsisten.

Menurut Nezar, kedaulatan teknologi sangat penting mengingat perkembangan AI global berlangsung sangat cepat. Hanya dalam dua tahun, kemampuan generative AI berkembang jauh lebih cepat dari prediksi.

Tak hanya itu, dalam enam bulan saja, fitur-fitur baru terus bertambah dan mendorong persaingan global antarnegara dalam infrastruktur data center, GPU, dan computing power. 

Karena itu, Indonesia tidak boleh hanya bergantung pada model asing yang belum tentu relevan dengan konteks nasional. Di sisi lain, kesiapan masyarakat memanfaatkan AI menjadi isu yang tak kalah krusial. Komdigi menegaskan bahwa literasi digital publik adalah fondasi untuk mencegah teknologi dipakai tanpa kesadaran. 

Nezar menjelaskan, melalui program Digital Talent Scholarship, iCall Center, dan pengembangan AI Talent Factory, pemerintah telah menyiapkan pelatihan untuk melahirkan talenta yang tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga perancang dan pengembang AI.

Program AI Talent Factory saat ini berjalan di Universitas Brawijaya dan akan diperluas ke Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, serta sejumlah kampus lainnya pada 2025.

Tak ketinggalan, lanjut Nezar, literasi AI juga mulai didorong sejak pendidikan dasar dan menengah. Nezar menilai sudah waktunya kurikulum sekolah dievaluasi agar siswa memahami teknologi secara holistik. 

“Anak-anak perlu diajarkan cara kerja AI, dibentuk awareness, dan dilatih berpikir kritis. Mereka hidup di masa ketika teknologi ini sangat dominan,” imbuh dia. 

Menurutnya, penggunaan AI tanpa kemampuan kritis dapat menghilangkan esensi belajar, terutama ketika siswa menyerahkan seluruh proses berpikir kepada mesin. Di samping potensi positif, perkembangan AI juga menghadirkan risiko besar, terutama terkait keamanan data, disinformasi, dan manipulasi visual. 

Nezar mengingatkan bahwa model AI hanya bekerja jika diberi data, sehingga pengguna harus berhati-hati mengunggah foto pribadi atau dokumen sensitif. Ia menegaskan risiko itu nyata, dari data yang dilatih dalam model dapat muncul di tempat lain, termasuk wajah mirip pengguna pada foto hasil generatif buatan orang lain.

Risiko terbesar datang dari maraknya deepfake, konten palsu yang dibuat AI dengan kualitas semakin realistis. Ia menyoroti potensi kerusakan sosial ketika deepfake digunakan untuk pornografi, ujaran memecah-belah, atau manipulasi politik.

“Deepfake punya dampak sangat besar karena bisa meniru wajah dan suara kita, bahkan menggambarkan seseorang dalam konteks yang tidak pernah dilakukan,” katanya. 

Mengatasi ancaman ini, pemerintah juga memperkuat kolaborasi dengan platform digital, kepolisian, kejaksaan, serta lembaga terkait lainnya. Komdigi mendorong platform menyediakan alat deteksi konten buatan AI dan mengadopsi standar content authentication berbasis metadata. Langkah ini penting untuk memastikan publik dapat membedakan konten autentik dari konten manipulatif.

Nezar menggarisbawahi, bahwa adopsi AI harus dilihat sebagai perjalanan kolektif menuju masa depan ekonomi digital Indonesia. Melalui 'Sovereign AI yang Berdaulat', ia optimis Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi produk AI negara lain, tetapi ikut diperhitungkan dalam percaturan teknologi global, dari infrastruktur hingga pengembangan algoritma dan model.

“Kita harus menciptakan AI yang berdaulat, menguasai teknologinya, bukan hanya menjadi penonton. Ini bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk memastikan Indonesia punya posisi dalam percaturan teknologi global,” pungkas dia.

(rir)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK