KRISIS IKLIM

Studi Ungkap Peran Krisis Iklim di Balik Bencana Sumatra

CNN Indonesia
Jumat, 12 Des 2025 09:10 WIB
Kendaraan melintas di jalan yang berada di antara lahan pertanian yang rusak akibat terendam banjir dan lumpur banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh, Senin (8/12). (Foto: ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Studi terbaru mengungkap badai mematikan yang menghantam Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan beberapa negara lainnya di Asia Tenggara dan Asia Selatan tak lepas dari peran krisis iklim yang semakin parah.

Tim peneliti dari World Weather Attribution menjelaskan bahwa Siklon Tropis Senyar yang menghantam sejumlah wilayah itu dipicu oleh suhu laut yang meningkat dan diperparah oleh laju deforestasi yang kian cepat.

Melansir Reuters, para peneliti dalam studinya menjelaskan bahwa suhu permukaan laut di Samudra Hindia Utara lebih tinggi 0,2 derajat Celsius dibandingkan rata-rata periode 1991-2020 selama lima hari terintensif curah hujan. Hal ini memberikan badai panas dan energi ekstra.

Mereka memperkirakan bahwa tanpa kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1,3 derajat Celsius sejak era pra-industri, permukaan laut di wilayah tersebut akan sekitar satu derajat lebih dingin pada akhir November.

Siklon tropis sering terjadi selama musim hujan. Meskipun para ilmuwan mengatakan tidak ada bukti bahwa krisis iklim telah membuatnya lebih sering terjadi, mereka mengatakan bahwa suhu laut yang lebih tinggi membuat peristiwa menjadi lebih merusak.

"Hal yang tidak normal adalah meningkatnya intensitas badai-badai ini dan bagaimana mereka mempengaruhi jutaan orang dan menelan ratusan nyawa," kata Sarah Kew, peneliti iklim di Institut Meteorologi Kerajaan Belanda dan penulis utama studi tersebut, melansir Reuters, Kamis (11/12).

Meskipun para peneliti tidak dapat menentukan dampak pasti perubahan iklim terhadap badai, mereka mengatakan bahwa peningkatan curah hujan ekstrem yang terkait dengan kenaikan suhu global dapat mencapai 9-50 persen di Selat Malaka dan 28-160 persen di Sri Lanka.

Para ilmuwan juga telah memperingatkan bahwa lebih banyak wilayah berisiko mengalami cuaca ekstrem, karena badai terbentuk di wilayah baru dan mengikuti lintasan yang berbeda.

Terbentuknya Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka dianggap sangat tidak biasa. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa ini adalah badai kedua dalam sejarah yang mendarat di Malaysia dari arah barat.

Curah hujan makin intens

Sebelumnya, studi yang dilakukan oleh Institut Potsdam untuk Penelitian Dampak Iklim (PIK) pada tahun 2023 juga menunjukkan bahwa pemanasan global menyebabkan curah hujan menjadi lebih sering dan intens.

"Studi kami menegaskan bahwa intensitas dan frekuensi hujan lebat yang ekstrem meningkat secara eksponensial seiring dengan meningkatnya pemanasan global," kata Max Kotz, penulis utama studi yang terbit di Journal of Climate.

Studi ini sesuai dengan teori fisika klasik Clausius-Clapeyron tahun 1834, yang menyatakan bahwa udara yang lebih hangat dapat menampung lebih banyak uap air.

Model iklim terbaru menghasilkan hasil yang bervariasi dalam hal intensitas curah hujan ekstrem dan hubungannya dengan pemanasan global. Namun, model-model ini cenderung meremehkan peningkatan curah hujan sebagai akibat dari pemanasan global.

"Dampak iklim terhadap masyarakat telah dihitung dengan menggunakan model iklim. Sekarang temuan kami menunjukkan bahwa dampak ini bisa jadi jauh lebih buruk yang kita duga. Curah hujan ekstrem akan lebih deras dan lebih sering terjadi. Masyarakat harus bersiap untuk hal ini," kata kepala departemen PIK dan penulis studi Anders Levermann.

Pada awal Oktober, mantan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan bahwa peningkatan suhu permukaan laut di perairan Indonesia semakin memperparah kondisi cuaca ekstrem.

Ia menjelaskan bahwa suhu permukaan laut yang lebih hangat menyebabkan evaporasi yang lebih cepat. Hal ini mempercepat siklus hidrologi, yang mengakibatkan pembentukan awan yang lebih besar dan lebih cepat.

Tidak hanya mempercepat siklus hidrologi, tetapi juga menyebabkan perbedaan suhu dengan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

"Jadi perbedaan suhu muka air laut antara Samudera Hindia dengan kepulauan Indonesia, maka terjadilah aliran massa udara basah dari Samudera Hindia ke Indonesia," kata Dwikorita dalam acara Insight with Desi Anwar di CNN Indonesia, Minggu (5/10).

"Demikian juga, dari Samudera Pasifik ke Indonesia," tambahnya.

Dwikorita mengatakan bahwa udara lembap dari dua samudra akan semakin memperkuat pembentukan awan di Indonesia.

Seiring dengan meningkatnya suhu air di Indonesia, pembentukan awan menjadi lebih intensif. Kondisi cuaca ekstrem ini dapat diperparah oleh fenomena regional seperti Osilasi Madden-Julian.

"Belum lagi kalau secara regional, ada Madden-Julian Oscillation yaitu pergerakan arak-arakan awan hujan sepanjang khatulistiwa melintasi Samudera Hindia dari sebelah timur Afrika," terangnya.

Apa Beda Puting Beliung, Siklon, dan Tornado? (Foto: Basith Subastian/CNNIndonesia)

Siklon Tropis Makin Destruktif karena Krisis Iklim


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :