Cerpen: Alfabetis

CNN Indonesia
Sabtu, 02 Sep 2017 09:42 WIB
Santosan menengadah membuka matanya, tak terlihat apapun kecuali cahaya murni kekasih. Tak serupa apapun. Tak serupa cahaya apapun pernah dikenalnya.
Ilustrasi (Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika waktu bagai mustika pembuka. Kekasih memang tak selalu hadir di rona senja itu. Meski Santosan tetap menunggu garis horizon memerah, penanda akhir dari hari menuju transisi waktu berikutnya. “Aku belum melihat penanda itu.” Santosan mencoba mengendalikan nafas mencapai keseimbangan sukmanya.

Senja terasa lambat karena waktu membiarkan dia menunggu. “Aku tak percaya pada permainan takdir. Harus aku buktikan bahwa hidup lompatan waktu ke waktu. Logika keajaiban matematis. Awal mula adalah nol tak sebanding apapun, sebenarnya nilai tak terhingga membentuk ruang semesta kini.”

Logaritma, bilangan terbalik tanpa kuadrat dijumlah, tapi dikalikan tanpa dikurangi, menjadi lompatan kelipatan pada poros transisi sejajar. Bintang senja berjajar pada titik pertemuan geo-lintang. Mengarah ke selatan menjadi garis agonik. Di sisi ini ada tampak semacam garis khayal dari realitas tampaknya menjadi deklinasi geo, seakan membentuk ekuator vertikal dan horizontal.

Sedikit lagi titik pertemuan vertikal dan horizon akan tampak. Aku harus menerbangkan benda mustika ini dengan pantulan merah senja. Aku tidak tahu lagi kultur atau bukan jika kekasih tak hadir di kehidupan kini. Santosan, memandangi perubahan cakrawala dengan kisah-kisah di balik peristiwa-peristiwa itu. Garis lintang seperti terbentuk di antara dua sisi awan-awan.

Tampak berbeda warna oleh air dan debu kosmik mengkristal. Santosan, meletakkan tangannya di dada tepat di depan jantungnya. Memberi salam peradaban pada sesuatu yang muncul menjadi garis posisi di angkasa raya, berkelipan di antaranya, kristal-kristal itu memantulkan cahaya super high density, membentuk garis langit di antara ke dua sisinya.

Menjadi diagram berkala, skala antara waktu kini dan waktu tunda juga waktu akan datang. Alfa membentuk terang pada hakikat sukma alam raya penghidup magnetik seisi planet-planet secara matematis. Tak terhingga pada zero, terang alfa itu menjadi bintang. Penerang mendekat pada Santosan. “Inikah kekasih?” Terasa tubuhnya terpecah menjadi berjuta molekul.

Melenting sel-sel beterbangan kian kemari, merembes seperti udara universal tanpa limit bentangan tertentu. Cahaya alfa membentuk gerbang abstrak. Santosan merasa dirinya melayang tak berpijak apapun. Kekasih tampil dari arah balik cahaya itu terpantul ke arahnya, Menjadi satu jiwa terasa seperti itu. Frekuensi tampilan suara mengumandangkan akal budi memenuhi nurani.

Khusuk menerima kekuatan itu. “Santosan.” Suara itu mengucapkan namanya dalam kecepatan cahaya pantul. Dia merasa seseorang meletakkan bunga cinta tepat di atas ubun-ubun. Titik matematis. Titik pola durasi waktu pada angka-angka tak terhingga. Suara itu juga hadir pada kecepatan cahaya pantul. Terasa bunga cinta itu menjadi titik beku dingin. Menjadi panas.

Menjadi puncak, menjadi inti hitungan logaritma di titik bagi antara sistem tata surya dan pergerakan garis lintang. Santosan tetap pada posisi, bergeming. Celorot kilatan secepat cahaya terasa memberinya kekuatan penuh. Mustika itu terbuka dengan cahaya senja. Terlepas karma keabadian dari dalamnya.

Cinta telah ditunggu ribuan tahun berlalu, utuh menyembul ke permukaan. “Kekasih.” suara itu menyapa Santosan. “Bangkitlah dari cintamu.” Santosan merasakan sentuhan kelembutan. Santosan menengadah membuka matanya, tak terlihat apapun kecuali cahaya murni kekasih. Tak serupa apapun. Tak serupa cahaya apapun pernah dikenalnya, selama perjalanan hidupnya.

Santosan terus menengadah. Cahaya itu memeluknya bersama berjuta gemintang gemerlap tanpa batas takdir seperti kehidupan di realitas. Mengalirlah panorama kekasih pada bidang nuraninya.

Waktu metronom kelahiran telah tiba beberapa abad sebelumnya. Suara metronom mengawali hari baru kelahirannya. Manusia menyebutnya anak Pedang Dewa. Bagi Santosan tak perlu julukan itu. Sebab, dia sendiri tak pernah memahami mengapa lahir sebagai pengabar. Santosan berlari dengan kecepatan penuh menyusul Ibu terlihat buta dan tuli, kini tengah berada di ladang.

Dia selalu ingin bertanya kenapa dilahirkan dan siapa Ayahnya. Cuaca semakin buruk. Santosan khawatir, segera menuju garis balik sartan menuju sebelah utara khatulistiwa. Dia mempercepat dirinya menjemput Ibunya, kekasih jiwa sepenuh cinta pengabdian. Di kejauhan tampak para peladang berkerumun di tengah lahan itu.

Khawatir mendekati jiwa Santosan. “Ibu. Jangan! Jangan kau ambil dia sekarang.” Namun takdir berkata lain. Ibunda telah wafat di antara tanaman hijau di ladang.

Para Ibu dan petani lain menjelaskan, di tengah hujan lebat, ketika mereka akan menepi, petir meraih Ibu Santosan pergi bersamanya. Dua orang petani penuntun Ibumu turut menjadi korban. “Sambaran petir itu membuat Ibumu menjadi cahaya, ini…” Seorang Ibu menyerahkan cahaya pada Santosan. Ibu lainnya menyerahkan dua cahaya pembimbing Ibu Santosan.

“Simpanlah tiga cahaya itu. Cahaya putih adalah Ibumu. Putih keunguan dua cahaya penuntun Ibumu, sahabat kami.” Para petani memberi hormat juga Santosan. Tapi dia tak berkata apa-apa. Meski dia menyaksikan para petani itu dapat terbang menuju langit, melayang seperti burung-burung menuju surga. Setelah hari itu aku tak pernah mengerti, aku masih anak kecil.

Antara heran di keajaiban itu. Ibu menjadi cahaya putih. Dua teman penuntun, menjadi cahaya putih keunguan. Ketika aku pulang ke rumah. semua sudah tersedia. Seperti ketika Ibu masih hidup. Genap usiaku tiga belas tahun, aku masuk ke kamar Ibu, hal tak pernah aku lakukan tanpa seizin Ibu. “Jangan dekati lampu hiasan di sudut itu.” Pesan Ibu kalau aku ke kamarnya.

Benar. ketika aku mendekat ke lampu sudut berenda putih ada merah di ujung sulaman. Terasa aku melayang-layang di antara waktu entah. Bilangan-bilangan menjadi ajaib kuadrat waktu seperti membuat pola putaran, pembagian perkalian persamaan dengan x-satu kuadrat tak terhingga terhitung pada kuantum perdetik, seperti berhenti sejenak tapi masih ada pergerakan di puncaknya.

Jantungku berdegup keras seperti entah. Berdentingan, berdentang, berdering suara metronom, aku seperti masuk ke sebuah lorong entah apa. Ada kehidupan di dalam, aku melihat dunia baru seperti di tempatku berada sama persis. Suara metronom membuat huruf-huruf alfabet, aku mencoba mengejarnya. “Rahim Ibu.” Aku terpana pada kagum entah seperti apa.

Entah ringan entah melayang keadaanku. Tak bisa aku tuliskan. “Santosan. Bangun sayang.” Seorang membangunkan aku. Oh! Ternyata dia Ibuku. Terlihat cantik rupawan. Ibu tidak buta dan tuli lagi, secantik wajah aslinya dulu. Di tengah entah waktu itu, aku menjawab dengan terbata-bata, heran dan kagum.

“Iya Ibu. Saya masih mengantuk.”

“Sebentar lagi kita tiba di stasiun tujuan Santosan.”

“Iya. Ibu.” Kepalaku rebah di pangkuannya.

Di tengah suara kereta menuju entah, belaian Ibu mengusap kepala ku. Terasa sejuk. Indah, aku merasakan cinta mengalir dari tangan Ibu. Mungkin dari rasa syukur memiliki aku.

Alfabet. Hal itu membentuk kata-kata di perasaanku, terasa di mataku terpejam, pada tidurku di pangkuan Ibu. Helaan nafas Ibunda, terasa hanya kasih Ibu pada kisah-kisah di angkasa mataku tentang cinta, harapan di peradaban entah apa.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER