Jakarta, CNN Indonesia --
Beberapa waktu sebelum 1998. Ketika itu pada autumn permulaan minggu, di persimpangan Musée du Louvre, di kejauhan di antara garis Quai des Tuileries tampak La Saine seperti melukis dirinya dengan cuaca musim gugur.
Tak ada kata ketika itu, di antara kita, kau hanya ingin dipeluk, rambutmu tergerai di wajahku, karena kau lebih tinggi dari aku 30 sentimeter. Perasaan entah, itu, terdengar lembut di debar jantungmu.
Ini surat ke 240 minggu, setelah dari persimpangan Musée du Louvre. Sejak perasaan entah, itu, mengalir menjadi kata-kata, seperti musim-musim pernah kita lalui sepanjang 1080 hari.
“Sudah. Apa kau tak bisa melupakan gadis itu Bie. No, never end…” Perasaan itu hadir dan selalu bilang begitu. “Bie, lihatlah, apa perasaan entah, itu, masih ada, apa mungkin masih seperti dulu.” Suara perasaan itu lagi.
Cut to the next scene: Transisi Kantor Pusat Malam. Ruang tim Komando Investigasi Pertahanan Negara. Bill. Mematikan telepon genggam, memperhatikan sekeliling ruangan. Semua orang fokus pada database, kasus penyusupan pesawat asing.
Indonesia Air Force Team 16, baru saja menyergap pesawat asing itu, memasuki wilayah negeri tercinta. “Ini urusan bilateral bakal panjang.” Team investigasi gabungan menuju kota Bekasi, markas Komando Pusat Pengendalian Keamanan Negara.
Presiden sedang di Beijing. Tim kapal induk siaga mengawal Presiden di laut lepas sehubungan dengan konferensi itu. Komando Aceh dan Borneo, siaga kemungkinan penyusupan pesawat asing berikut.
Kejadian itu nyaris bersamaan dengan peristiwa pesta olahraga internasional di sebuah negeri. Bendera kebangsaan tercinta ini dipasang terbalik. “Bendera kami Merah Putih, di atas merah di bawah putih, telah diketahui sejarah seluruh dunia.”
Bill, geram, ingin mendatangi negara itu, membawa masalah penghinaan itu ke sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa, menyampaikan nota perilaku penghinaan negara itu pada negeri tercinta ini. Tapi dia tak punya kuasa sebesar itu.
“Benar-benar penghinaan tak terperi.” Suara Bill pada seseorang di telepon itu. “Minta maaf dalam sikap diplomasi saja tidak cukup! Kalian benar-benar keterlaluan!”
Suara sahabat Bill di seberang sana. “Ya. Kami sedang menyiapkan nota permintaan maaf dari pemerintah kami kepada pemerintah anda sobat.”
“Mengapa semua kejadian mendadak bersamaan dengan kasus penyusupan pesawat asing ke wilayah negeri tercinta ini.” Dalam pikiran Bill, meneruskan pembicaraan lewat telepon dengan negara lain.
Bill mematikan telepon. Tampak dia menekan beberapa tombol, tersambung, bicara sesuatu dengan wajah berkerut tegang, menghela nafas, mematikan telepon. Menekan tombol lagi, suara Bill, agak tinggi meski tak terlalu keras.
“Baik, persoalan perbatasan dengan negara sahabat itu sudah diamankan. Baik. Siap. Saya segera menghubungi beberapa Kedutaan Besar Negara sahabat.” Bill, menghela nafas lagi, tampak dia baru menghubungi juru bicara. Bill, Belum puas dengan sikap negara itu telah menghina martabat negeri tercinta ini. Bill geram pada negara itu. “Tidak sopan! Sungguh tidak sopan!”
Menteri Luar Negeri sedang bersama Presiden, pembicaraan tingkat tinggi. “Artinya penyelesaian diplomasi masalah penyusupan pesawat asing di perbatasan negeri menunggu konferensi di Beijing, selesai. Butuh waktu empat hari menunggu. Semoga dunia tak kacau.”
Bill menekan tombol telepon. Lalu di matikan lagi.
Cut to the next scene: Beberapa waktu setelah 1998. “Bie, ketika itu kau harus pulang, karena perubahan pemerintahan di negerimu. Musim demonstrasi dan gerakan mahasiswa, surel terakhir bukan berita kemenangan mahasiswa, seperti biasanya kau terima dari sahabat-sahabat kamu di Indonesia, tapi, berita tentang wafatnya Mama, ingat.” Perasaan itu senantiasa berdialog dengan nalarku. Hari ini, surat ini, harus tetap aku kirim, ke Paris, setiap minggu.
Di musim itu, taksi membawaku dengan cepat menuju airport. Setelah entrance, menuju koridor, Aéroport Roissy-Charles de Gaulle, kau, hanya kau berbusana blue black dengan jepit rambut mungil pita putih dekat sudut telinga kamu. Ya, itu kau, ini bukan kejutan, kau hadirkan surga di hadapanku, juga tak ada kata, hanya peluk perpisahan, barangkali, bukan, itu bukan pamitan, aku tidak bisa mengatakannya.
Cut to the next scene: Transisi Kantor Pusat Malam. Bill, memberi tanda pada Sinten, perempuan manis si jenius, untuk masuk menyusul ke ruangannya. Blink! Pengaman nyala.
“Morning Uncle.” Bie mengagetkan Bill. “Holy Mother, Bie?” Menatap sejenak. “Give me hugged. Bagaimana Perancis, masih sexy.” Bie keponakan tersayang, terbaik. Keduanya berpelukan, erat.
“Aku tidak perlu bersalaman dengan orang ini kan.” Sinten dengan senyum manis khasnya. “Maaf, Bill. Orang ini memaksa saya, menyembunyikan diri di sini.” Mengalir suara syahdu Sinten di telinga Bie.
“Bagaimana?” Bill, menyela cepat nostalgia mereka. Seakan Bill tak ingin mendengar terusan dialog itu.
“Kie?” Bie, dengan tajam menekankan pertanyaan itu, senyum sesaat. Ruangan menjadi terasa aneh dan asing. Sepi sejenak, senyap. Ketiganya masih berdiri. Sinten, sedikit mencuri pandang pada Bie. "Hm, tambah ganteng." Mata Sinten tertuju pada pandangan mata Bie, di dalam sana ada banyak kenangan penyelamatan sandera bahu membahu, akh saat itu…
“Duduk.” Bill, memecah senyap. Keduanya duduk di sofa itu. Sinten membalikkan badan, keluar ruangan. "Blink!" Pengaman nyala. Aman bagi anggota, chip pengaman ada di jempol tangan kiri mereka. Kecuali Bie, dia masuk ruangan Bill, karena Sinten. Di komando ini ada rantai pengaman, semacam backup antar personal.
Sinten satu arah, backup dua Bill, backup tiga hanya Bill dan Sinten, mengetahui. Backup tiga, tak pernah tahu, bahwa dia backup siapa, dia pun tak tahu jika ada chip pengaman di tengkuk di bawah celah tengkorak kepala. Auto-system akan bekerja, justru jika ketiganya mati, chip rusak otomatis. Direct auto-databank system, transfer pada pengganti, begitu seterusnya, berlaku sama pada anggota Komando Investigasi Pertahanan Negara.
Cut to the next scene: Beberapa waktu setelah 1998. Kembali aku tenggelam di pelukanmu, tetap, kau tiga puluh sentimeter lebih tinggi, aku seperti mendengar sedu sedan itu di dalam rongga dadamu, bersama irama nafasmu, memburu, aku pun memburu, seakan aku mencium luka-luka memarmu ketika kau terpelanting di arena es itu, aku berlari kepadamu dengan segala daya, aku rengkuh engkau. Ambulans melarikan kamu ke rumah sakit terdekat, akh…
Detik waktu ketika itu menyadarkan kami. Lipstikmu kubiarkan di keningku, hingga aku terbangun di Bandara Soekarno Hatta. Sisa gerakan reformasi masih tampak, gedung terbakar, mobil, motor dan kerusakan Jakarta, sepanjang menuju rumah.
“Den Muda harapan Den Besar, telah terjadi perubahan kekuasaan. Gerakan mahasiswa menang, sekarang stabil tapi belum kondusif”. Suara Pak Sor, karyawan setia. Pak Sor, supir pribadi, telah lama bekerja pada keluarga kami, paham sekali watak Den Besar, panggilan Pak Sor pada Papaku.
Pak Sor, menceritakan, ketika itu semua terjadi begitu cepat, beberapa usaha warung para pedagang kecil bantuan Mama dijarah, dibakar, beberapa pemiliknya menjadi korban kekerasan massa tak dikenal. Mama shock, bantuan modal usaha untuk para pedagang kecil, salah satu Ikhlasnya Mama untuk sesama.
Cut to the next scene: Transisi Kantor Pusat Malam. Ruang di Pejaten. Rumah Pak De, kelihatannya Den Besar sedang menjalin diskusi berat dengan Pak De, keduanya tampak ada ketegangan. Namun seperti biasanya Den Besar, tampak menguasai kendali dengan sabar, tetap tajam, tetap sealalu waspada. “Kau tidak mungkin bisa mengendalikan Bie, dia anak biologismu tersayang, meski dia tak harus tahu, ini akan memicu persoalan lebih ruwet.” Pak De, sedikit mengingatkan Den Besar.
“Tedja! Aku paham pada akibatnya, dan maksud baikmu, aku paham.” Menghela nafasnya, sejenak. “Tapi dia harus diselamatkan dengan cara itu.”
“Sampai kapan kau bisa menghindar.” Pak De, menyela cepat. “Maafkan aku, tidak bermaksud menekanmu.”
”Lakukan, aku hadapi Bie.” Den Besar, mengambil keputusan, tegas, jika sudah begini tak ada satupun berani membantahnya.
Laboratorium Teknologi Prana. Pak De, menuju ruang observasi. Perangkat tekno, ruwet sekali, Tech drone-ruang cylinder supply oxygen aktif. Pak De, ganti perangkat baju steril, masuk, ke ruang vacuum bakteri. Beberapa sekat labirin laser, untuk masuk ruang perawatan, pengembangan. Ada beberapa asisten Pak De, di dalam. Asisten I “Lokal kehidupan sudah di data, beberapa masalah kecil.”
“Tekanan?” Tanya Pak De, seperti cemas.
Asisten I belum bisa menjawab pertanyaan itu. Asisten II membuka jejaring database. “U.S., Hyper coma, memberi rujukan.”
“Mengapa jadi terbalik. Mereka malah minta otorisasi.” Suara Pak De gusar. Pak De, memperhatikan transparent screen. “Tanyakan kepada mereka, untuk apa otorisasi. Kacau!”
“Kabar dari Israel.” Asisten II, membuka Main-sys.
“Oke. Jawabnya. Open Eye-sys.” Pak De, memberi beberapa petunjuk.
Cut to the next scene: Beberapa waktu setelah 1998. Pak Sor, bersama Den Besar. Pak Sor, menjawab pertanyaan Den Besar dengan seksama. Mobil, perjalanan menuju pulang dari markas Komando Investasi Pertahanan Negara. “Saya tidak menjelaskan dengan detail.” Suara Pak Sor ragu. "Beritahu nggak ya." Perasaan Pak Sor.
“Waktu perjalanan menjemput Den Muda dari Bandara, saya kebelet kencing”. Mati aku, kasih tahu nggak ya.”Saya…”
Den Besar, menyela, “Hand phone kamu ketinggalan di dashboard. Dia membaca pesan rahasia ku kepada kamu Sor. Bie sudah bilang.”
“Injih meniko kulo…” Ciloko, hati Pak Sor.
768 minggu. Kini surat terakhir untukmu Kie, apapun aku menerima realitas, keberadaanmu. Perasaanku meraba surat itu.
Den Besar, setia duduk bersama di kursi di sampingku, setiap sore di teras belakang. “The Lady volunteers? Who had passed away five years ago in Libya? The terrorist attacks?” Terdengar suara Den Besar khas dan masih gagah meski di usia 91 tahun kini.
“Yes Sir. May be…” Jawab perasaan itu, selalu. Lantas, aku menjelaskan dengan seksama, misteri di balik peristiwa itu. Ada banyak kejanggalan. Itu sebabnya aku yakin Kie, masih hidup. Den Besar, mendengar penjelasan ku dengan seksama, teliti dan akurat. Lantas berlanjut pada berbagai kemungkinan, analisa acak pemetaan intelegensi, seperti biasanya.
Hening. Di teras itu, tempat Mama memberi makna pada kami setiap kali, selalu mengingatkan. “Hati-hati melangkah. Jangan terperosok menjadi pengkhianat negara. Sistem korupsi di negeri ini pasti kalah pada waktunya kelak. Tetap teguh pada Merah Putih, bela dengan nyawamu. Siapapun berani menghujat bendera dan lambang negara ini.” Suara Mama lembut dan tegas. Sambil merajut hari-harinya menjadi hiasan bantal dan guling untuk kami. Papa selalu menunduk memberi sikap hormat pada suara Mama, jika Mama merujuk makna pada masalah kebangsaan.
Kenangan pada ketulusan Mama pada sesama, bagai film di putar ulang di teras itu. Kenangan masa kecil bersama Mama, memberi banyak pelajaran kepada ku. Tidak boleh melupakan panti asuhan telah menjadi hidup Mama, untuk selalu membantu sesama kelak, di manapun aku berada meski telah menjadi seperti kini. Mama telah dimakamkan 16 tahun lalu.
(ded/ded)