Mengulik Hadiah Susuhan Paku Buwono II

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Selasa, 31 Mei 2016 14:58 WIB
Yuk melihat lebih dekat budaya Paes Ageng, peninggalan masa lalu yang tetap dipertahankan bahkan makin merakyat, dari kaum bangsawan kini jadi milik rakyat.
Penari membawakan tarian di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Solo, Jawa Tengah. (CNN Indonesia/ANTARA FOTO/Maulana Surya)
Yogyakarta, CNN Indonesia -- Ajining diri gumantung ana ing lathi, ajining sarira gumantung ana ing busana. 

Begitulah kira-kira pepatah Jawa menilai harga diri seseorang secara sederhana. Secara harafiah pepatah tersebut berusaha memaknai harga diri sesorang dari perkataan dan busana yang dirinya kenakan.

Kebudayaan Jawa yang hidup bersahaja, mampu tercermin melalui contoh pepatah di atas. Pepatah di atas masih hidup dan kini terus berkembang keberadaannya di tengah-tengah masyarakat yang menganut budaya Jawa dalam kehidupan sehari-harinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kehidupan budaya Jawa bisa direpresentasikan melalui unsur lainnya, tidak melulu melalui sebuah pepatah syarat arti di dalamnya. Salah satu unsur yang mampu merepresentasikan kehidupan masyarakat Jawa ialah melalui budaya Paes Ageng, peninggalan budaya yang telah ada semenjak pemerintahan Raja Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I).

Dalam balutan busana Paes Ageng yang dikenakan oleh pasangan dalam acara pernikahan sakral adat Jawa, bersahajanya kehidupan budaya Jawa coba ditampilkan dalam setiap pakaian, tata rias, aksesoris Paes Ageng. Busana Paes Ageng menjadi cerminan “andhap asor” masyarakat Jawa bukan dilihat dari bentuk, tampilan dan pemakainya, namun melalui cerminan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Busana Paes Ageng
Busana Paes Ageng merupakan busana yang kini mulai lazim kita temui dalam acara pernikahan, khususnya pernikahan masyarakat adat Jawa. Sebelum lebih jauh kita membahas mengenai busana Paes Ageng itu sendiri tidak ada salahnya kita menyinggung mengenai budaya Jawa yang meluhurkan perkawinan atau pernikahan dalam kehidupan manusia.

Hal tersebut bukanlah tanpa sebab, perkawinan di masyarakat Jawa dianggap penting karena pernikahan merupakan salah satu fase manusia memasuki tahap yang lebih tinggi dalam kehidupannya. Tahap sebelum perkawinan, manusia akan secara otomatis melalui tahap lahir, di mana manusia memulai petualangan dan mulai berkarya di dunia ini. Kemudian tahap terakhir yang akan dilalui oleh manusia ialah kematian.

Ketiga tahap di atas merupakan tahap-tahap yang akan dilalui oleh manusia ketika berkarya di dunia ini, begitulah masyarakat Jawa kuno menjalani hidup. Kembali pada busana Paes Ageng seperti dituliskan sebelumnya, bahwa ketiga tahap kehidupan tersebut dikemas dalam balutan pengantin ini. Lahir, menikah dan meninggal dalam Paes Ageng digambarkan melalui kalung tiga susun yang dikenakan baik oleh mempelai laki-laki maupun perempuan.

Dalam hal tata rias, aksesoris dan pakaian pasangan pengantin, bisa dikatakan di setiap sisinya memiliki makna yang mendalam dan semuanya bermaksud baik. Baik karena di setiap hal yang melekat pada pengantin perempuan dan laki-laki semuanya bemakna mengenai pesan atau petuah kepada pasangan pengantin, tujuan hidup, doa dan simbol-simbol kebaikan yang harapannya menjadikan pasangan pengantin ini baik adanya.

Nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Paes Ageng tentu dipengaruhi oleh budaya Jawa yang melekat kental di dalamnya. Dapat dikatakan seperti itu karena budaya setempat akan mempengaruhi aspek kehidupan manusia yang tinggal di situ pula. Berbicara mengenai budaya yang melekat dalam Paes Ageng, maka tidak ditinggalkan pula unsur sejarah yang menjadi saksi bisu busana ini dapat lahir dan terus berkembang hingga saat ini.

Pada awalnya busana ini lahir seiring dengan lahirnya kerajaan Yogyakarta yang saat itu dipimpin oleh Raja Mangkubumi. Paes Ageng merupakan hadiah yang diberikan oleh Susuhan Paku Buwono II, yang tidak lain adalah ayah dari Mangkubumi itu sendiri.

Hadiah tersebut diberikan kepada anak keduanya ini karena berhasil memenangi peperangan melawan penjajah, Belanda. Peperangan yang dilakukan oleh Mangkubumi adalah peperangan merebut kembali tanah yang sebelumnya milih Jawa. Sudah dapat diduga, hasil dari peperangan itu ialah kemenangan untuk Mangkubumi dan mengembalikan tanah tersebut kepada tangan pemiliknya, tanah yang berhasil direbut tersebut kini menjadi salah satu kota budaya di Indonesia yaitu Yogyakarta.

Peristiwa ini dikenal dalam sejarah keraton Yogyakarta, Surakarta dan Indonesia sebagai perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti berisi mengenai pembagian wilayah Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Karena busana Paes Ageng merupakan hasil pemberian dari Susuhan Paku Buwono II, maka hal tersebut yang menjadi dasaran kemiripan antara Paes Ageng khas Yogyakarta dan Solo, ciri khas ini disebut sebagai gagrag.

Bila berbicara mengenai ciri khas, setidaknya terdapat 14 ciri khas dari Paes Ageng gagrag Yogyakarta yang sampai saat ini masih kerap digunakan oleh perias pasangan pengantin adat Jawa. Dari keseluruhan ciri khas yang terdapat dalam gagrag Yogyakarta, semuanya memiliki makna dan nilai luhur masing-masing terkait dengan kehidupan pernikahan.

Dari busana dan aksesoris yang dikenakan mempelai perempuan terdapat sembilan ciri khas, diantaranya lima cunduk mentul yang menjadi hiasan kepala yang paling tinggi, memiliki makna empat arah mata angin dan satu Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian hiasan kepala yang menempel di rambut bagian belakang terdapat sanggul bokor.

Lalu di bagian dahi mempelai perempuan akan diberikan tata rias berupa cengkorongan, pola gambar yang dibuat yang dimaknai sebagai kesucian dari pengantin perempuan. Tata rias selanjutnya terdapat di bagian alis dan kening, alis tanduk rusa, jahitan mata dan citak. Ketiga riasan tersebut memiliki makna yaitu merepresentasikan tolak bala yang diharapkan oleh pasangan pengantin ini ketika sudah dipersatukan dalam ikatan perkawinan, serta perkasanya sosok laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga.

Makna tolak bala yang dilambangkan oleh citak, ternyata juga ditunjukkan pula oleh gelang naga yang dikenakan. Selanjutnya terdapat tiga tahap kehidupan yang diluhurkan dalam budaya Jawa, digambarkan melalui kalung tiga susun. Yang terakhir ialah dodotan, pakaian pengantin berbahan kain Cinde, yang melambangkan penghormatan terhadap Dewi Sri atau dewi kemakmuran (Tata Cara Paes lan Pranatacara Gagrag Ngayogyakarta oleh Dwi Sunar Prasetyono).

Beralih ke ciri khas yang dikenakan oleh mempelai laki-laki, bisa dikatakan busana dan tata rias yang digunakan lebih sederhana dan sedikit. Dilihat hiasan yang digunakan, paling atas terdapat kuluk, atau penutup kepala yang memiliki rambut panjang di bagian belakangnya untuk mengingatkan kita pada pangeran-pangeran di masa lalu yang pada umumnya berambut panjang.

Lalu hiasan pada bagian telinga yaitu sumping, hiasan ini merepresentasikan kepekaan pendengaran laki-laki terhadap pasangan dan dunia sekitar. Serupa dengan mempelai perempuan, mempelai laki-laki juga menggunakan kalung tiga susun yang makna di dalamnya sama dengan mempelai perempuan. Lalu terdapat keris yang diselipkan pada pingggang mempelai laki-laki, keris yang sudah ada sejak jaman dahulu dimaknai sebagai sosok laki-laki yang bisa melindungi dan mengayomi dari gangguan dunia luar. Kemudian terakhir terdapat busana Dodotan atau busana raja, yang dimaknai bahwa pengantin laki-laki menjadi raja atau pemimpin.

Paes Ageng yang kian memasyarakat
Busana peninggalan kerajaan Yogyakarta yang ada semenjak kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono I (raja pertama Keraton Yogyakarta), kini keberadaannya makin dekat dengan masyarakat Jawa, atau bahkan masyarakat Indonesia secara umum. Memasyarakatnya busana Paes Ageng dalam perkawinan adat Jawa ini dapat dilihat dari pasangan pengantin yang menggunakannya makin banyak dari masa ke masa.

Dikatakan makin banyak sebenarnya bisa dilihat dari sisi eksklusifnya busana Paes Ageng ini jika dibandingkan dari zaman dulu hingga sekarang. Pada masa awal lahirnya Keraton Yogyakarta, busana Paes Ageng hanya boleh dikenakan oleh keluarga Keraton saja. Namun kini busana Paes Ageng dapat digunakan oleh siapapun untuk digunakan dalam pernikahannya.

Hal ini berubah semenjak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX. Bisa dikatakan busana Paes Ageng kini lebih bernilai inklusif kepada masyarakat dan lebih merangkul masyarakat seperti yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Memasyarakatnya Paes Ageng di dalam perayaan perkawinan juga memiliki ciri khas tertentu dalam aksesores yang dipakai, hal ini dapat dilihat dari kuluk (hiasan kepala laki-laki). Pembeda yang dapat dilihat ialah kuluk keluarga keraton yang dikenakan berwarna biru, sementara untuk pengantin yang tidak memiliki tali keluarga dengan keraton akan menggunakan warna putih.

Tidak hanya kuluk, seiring dengan berkembangnya waktu dan modernisasi, tata rias Paes Ageng mengalami perubahan. Perubahan yang dilakukan dalam Paes Ageng biasanya dipengaruhi pula oleh perias pengantin yang tentu memiliki pegangan masing-masing. Lazimnya perubahan yang dilakukan oleh piñata rias terdapat pada motif batik yang dikenakan oleh kedua mempelai.

Hal tersebut didukung dengan informasi yang di berikan oleh Bu Retno, salah satu perias adat Jawa, “Perkembangan paes Ageng ditunjang juga oleh periasnya, pakem utamanya tetep di gagrag Yogyakarta, tapi tergantung periasnya juga.”

“Dulu saya menggunakan Paes (Ageng) di pernikahan saya, ya karena saya dan pasangan kebetulan orang Jawa semua," kata Yohana Ika ketika ditanyai terkait dengan busana Paes Ageng. Digunakannya busana Paes Ageng dalam pernikahan adat Jawa kini sudah dianggap menjadi representasi kehidupan Jawa dalam hidup orang Jawa. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER