Jangan Biarkan 'Darah' Melumuri Seragam Sekolah Kita

CNN Indonesia
Jumat, 07 Apr 2017 16:00 WIB
Sekolah seharusnya menjadi tempat menempa diri jadi manusia lebih baik. Bukan tempat kekerasan.
Ilustrasi (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Lingkungan pendidikan di Indonesia semakin membuat resah. Kabar terbaru adalah kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap siswa SMA Taruna Nusantara. Siswa yang berinisialkan AMR melakukan pembunuhan pada pukul 03.30 dini hari. Korbannya adalah teman satu baraknya, Kresna Wahyu Nurachmad.

Salah satu kasus ini menambah panjang deretan kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan. Berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dilakukan di 9 provinsi Indonesia, sebanyak 87,6 persen kekerasan terjadi di lingkungan pendidikan.

Jika kita perlu bandingkan, riset dari LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) terhadap 5 negara Asia: Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia, ternyata Indonesia menempati urutan tertinggi kasus kekerasan di sekolah, yaitu 84 persen, dibandingkan dengan negara Asia lainnya yang mencapai 70%.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kondisi tersebut tentunya menunjukkan begitu memprihatinkannya situasi pendidikan di Indonesia. Sudah selayaknya lingkungan pendidikan menjadi ajang untuk siswanya mengembangkan potensi diri, prestasi, meraih kompetensi dan kualitas moral yang luhur.

Namun hal tersebut bertentangan sekali dengan praktik di lapangan. Mengutip laporan KPAI, justru lingkungan pendidikan di Indonesia merupakan peringkat terbesar ke-2 dalam kasus kekerasan. Sedih dan miris rasanya melihat generasi emas kelak terwarnai dengan karakter yang buruk dan jauh dari peradaban yang luhur.

Yang mengherankan, Indonesia memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang melindungi anak dari tindak kekerasan. Seperti UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti-kejahatan, dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Namun masih saja kekerasan terjadi. Seperti yang diutarakan Ketua FMGJ Heru Purnomo, tindak kekerasan yang dialami anak Indonesia tidak menurun, namun justru meningkat dan mengerikan. Fenomena kekerasan dalam pendidikan perlu menuai perhatian dan penanganan yang lebih serius, agar tindak kekerasan dalam dunia pendidikan tidak terus terjadi.

Ada dua akar penyebab masalah kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan:

Pertama, dalam penelitian Diena diungkapkan bahwa permasalahan kekerasan berakar dari suatu tindakan bullying. Ariefa Efianingrum dalam jurnalnya mengartikan bullying adalah kata lain dari sikap penyerangan kepada seseorang baik secara fisik maupun psikologis.

Serangan fisik bisa menyebabkan seseorang mengalami luka, irisan kulit, berdarah dan bahkan sampai kematian. Sedangkan serangan psikologis, bisa mengakibatkan orang memiliki perasaan kesal, jengkel, marah, stres, depresi, terkucilkan dan bahkan dendam. Berdasarkan sebabnya, menurut para aktivis Gerakan Nasional Anti-Bullying (Genab) Mardianto Janna, bullying terjadi karena tidak adanya rasa saling menghormati antar-teman, orangtua, bahkan guru.

Sedangkan kedua, Sugiyatno dalam pelatihannya terhadap para guru atau pengajar, mengutarakan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan siswa disebabkan karena kurangnya kompetensi untuk mengendalikan emosi. Hal tersebut diperkuat oleh survei yang dilakukan Ali nugraha dan Yeni terhadap para orang tua dan guru, bahwa generasi sekarang lebih banyak memiliki kesulitan ‘pengendalian emosi’ dan sosial dari pada generasi sebelumnya.

Generasi sekarang lebih kesepian dan pemurung, lebih beringas, kurang memiliki etika, mudah cemas, gugup dan lebih impulsif. Dalam jurnalnya, ia menekankan fenomena kekerasan dalam lembaga instansi pendidikan seolah memberikan gambaran bahwa kita sebagai bangsa sungguh lemah dalam mengendalikan emosi.

Dalam penelitian Elfida, menemukan bahwa kemampuan mengontrol diri atau mengendalikan emosi mempengaruhi perilaku seseorang untuk berbuat anarki, kekerasan atau tindakan penyimpangan. Artinya, hal tersebut benar-benar menunjukkan secara kuat bahwa mereka yang memiliki pengendalian emosi lebih bisa mengarahkan perilakunya kepada hal-hal positif, tidak ada kecenderungan untuk melakukan tindakan kekerasan pada seseorang ataupun lingkungan. Namun sebaliknya bahwa mereka yang tidak memiliki pengendalian emosi yang baik akan lebih condong berbuat kekerasan atau penyimpangan pada lingkungannya.

Cara mencegah kekerasan di lingkungan pendidikan
Maka menjadi penting sekali bagi kita jika ingin menyelesaikan masalah kekerasan di lingkungan pendidikan dengan cara melatih kemampuan pengendalian emosi pada siswa serta menghindari praktik bullying di sekolah.

Ada beberapa saran yang bisa dilakukan siswa untuk meningkatkan kemampuan mengendalikan emosi pada siswa. Menurut Santrock ada faktor individu dan lingkungan yang membuat perkembangan emosi membaik. Pertama, faktor individu, faktor ini meliputi sebuah kemampuan atau sikap menerima suatu keadaan, baik berkenaan dengan fisik, prestasi, perbedaan dan masalah.

Orang yang memiliki kemampuan menerima suatu keadaan akan mengalami sebuah sikap pendewasaan dalam menyikapi stimulus tertentu; entah perbedaan, konflik, masalah ataupun perdebatan. Walaupun dilanda masalah itu semua, mereka tidak akan mudah terpancing emosi untuk melakukan tindakan kekerasan.

Kedua, faktor lingkungan. Faktor ini meliputi keluarga, sekolah dan teman dekatnya. Sugiyatno menuturkan, lingkungan erat kaitannya dengan pengalaman emosi mereka, ketika pengalaman emosi yang ia terima baik maka akan memunculkan pengalaman baik pula. Sebaliknya jika pengalaman emosi yang ditanamkan lingkungan buruk, maka buruk pula kemampuan dalam mengendalikan emosinya. Karena pada dasarnya manusia akan meniru apa yang diajarkan lingkungan pada dirinya.

Sama hal-nya dengan perilaku kekerasan siswa, jika siswa dikondisikan dengan lingkungan yang baik (keluarga, teman, dan sekolah) maka akan dengan alamiah pula siswa meniru perilaku baik tersebut—sesuai yang diajarkan oleh lingkungan. Maka lingkungan perlu menjadi perhatian besar baik keluarga, sekolah dan teman dekatnya untuk membentuk pengondisian lingkungan yang positif dan produktif. Utamanya sekolah, bagaimana bisa membuat sistem pembelajaran, kultur dan program yang melatih pengendalian emosi yang baik bagi siswanya, seperti; kegiatan ekskul, diskusi, olahraga dan sejenisnya.

Kemudian, aktivitas yang bisa dilakukan untuk mencegah praktik bullying di sekolah yaitu dengan cara menumbuhkan sebuah respect atau penghargaan terhadap sesama. Cara ini serupa dengan yang dilakukan oleh Skotlandia dalam menangani masalah kekerasan yang terjadi di negara itu. Cara tersebut terbukti efektif dan berhasil saat diimplementasikan, kekerasan semakin berkurang.

Solusi tersebut sejalan dengan pemikiran Abraham Masloew dalam teori Hierarki Kebutuhan, bahwa pada dasarnya manusia butuh sebuah pengakuan atau penghargaan dari luar dirinya. Mereka yang tidak menghargai satu sama lain akan menimbulkan konflik antar sesama, seperti yang diungkapkapkan para aktivis Gerakan Nasional Anti-Bullying (Genab) konflik terjadi karena tidak adanya rasa menghargai antara sesama.

Sudah saatnya pemerintah bergerak, jangan tunggu korban baru berdatangan. Jangan biarkan angka kekerasan di lingkungan pendidikan semakin hari semakin meningkat. Sudah bosan rasanya jika tiap bulan dan tahun KPAI menerima laporan kekerasan di lingkungan pendidikan.

Buktikan bahwa Indonesia bisa menjadi negara yang menginspirasi dunia dengan minimnya kekerasan dalam pendidikan. Bolehlah sekarang di Asia Indonesia menduduki peringkat pertama kasus kekerasan dalam pendidikan, tapi di masa mendatang Indonesia menjadi pendidikan dengan tingkat keamanan nomor satu.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER